catatan.co – Kapitalisme gagal menjamin kesehatan mental generasi. Belakangan ini, dunia remaja Gen Z tidak terlepas dari berbagai huru-hara. Beberapa laman media mengungkap bahwa remaja Gen Z memiliki beberapa kelemahan, seperti ketergantungan pada teknologi, kurangnya keterampilan sosial, dan masalah kesehatan mental. Kita tak memungkiri bahwasanya mereka memang tumbuh bersama dengan teknologi. Meskipun ada sisi positif dari mereka yang penuh motivasi, inovatif, bahkan berwawasan global, tetapi di lain sisi mereka tumbuh menjadi remaja yang mudah rapuh, bahkan krisis jati diri.
Melihat fenomena remaja Gen Z, pemerintah DIY membentuk sekolah sehat jiwa demi menciptakan lingkungan sekolah yang sehat, nyaman, dan aman buat semua yang ada di lingkungan sekolah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Iva Kusdyarini mengatakan amanat mengenai upaya kesehatan jiwa tercantum dalam Perwal nomor 80 tahun 2024. Berangkat dari sini, Pemerintah Kota Yogyakarta akan menambah empat sekolah sehat jiwa. Sekolah sehat jiwa ini bertujuan membangun kesadaran dan mencegah gangguan kesehatan mental atau jiwa anak sejak dini.
https://jogja.jpnn.com/jogja-terkini/10490/jogja-punya-8-sekolah-sehat-jiwa-cara-pemkot-mencegah-gangguan-mental
Adanya sekolah sehat jiwa yang dicanangkan oleh pemerintah DIY patut diapresiasi. Namun, apakah dengan adanya sekolah sehat jiwa mampu meredam gejolak kesehatan mental generasi?
Paradigma Kapitalisme
Perlu kita gali lebih dalam bahwasanya yang membuat mental anak-anak menjadi lemah itu dipengaruhi oleh cara pandang tertentu. Dalam sistem demokrasi kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya, sudah bisa kita tebak bahwa yang membuat mental anak-anak itu lemah karena pandangan hidup sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan mereka.
Remaja Gen Z yang begitu bergantung dengan teknologi akhirnya memengaruhi cara pandang mereka terhadap kehidupan yang mereka jalani. Tak sedikit dari mereka yang menjadikan teknologi sebagai kiblat bergaya hidup. Masifnya konten-konten berbau materialistis menjadikan itu sebagai tolok ukur kebahagiaan mereka. Standar kebahagiaan duniawi, seperti kedudukan, harta, jabatan, dan segala kemewahan dianggap mulia dan bukti kesuksesan hidup.
Alhasil, kegagalan pandangan kapitalisme ini menjadikan mereka ambisius demi mencapai segala hal yang bersifat materi, bahkan tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Pun, dengan maraknya aksi pinjol (pinjaman online) mereka lakukan demi memenuhi gaya hidup. Kegagalan pandangan kapitalisme ini benar-benar berhasil membuat remaja Gen Z berbangga-bangga dengan harta. Tak sedikit dari mereka meniru para konten kreator yang doyan flexing dan pamer segala-galanya.
Krisis Keimanan
Tidak heran, bila akhirnya mereka menjadi generasi yang krisis keimanan, karena tidak menempatkan Sang Pencipta sebagai sumber penyelesaian masalah. Cara pandang inilah yang mesti diubah, bahwasanya segala problematika yang mereka hadapi hanyalah persoalan cabang yang seharusnya mampu mereka selesaikan ketika memahami persoalan pokok yang sebenarnya. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan mereka, bahwa mereka berasal dari Allah Swt., mereka hidup di dunia ini untuk Allah Swt., dan setelah kehidupan dunia ini berakhir mereka kembali kepada Allah Swt.
Inilah yang membuat remaja Gen Z mudah goyah, diliputi hawa nafsu sesaat, hingga pikiran yang kalut karena tidak memahami persoalan pokok ini. Akibatnya apa? Anak-anak kita menjadi sakit, tersebab lemahnya iman mereka yang berujung pada gangguan kesehatan mental. Oleh karena itu, wajib sejak dini memahamkan persoalan pokok ini, karena ini merupakan faktor internal yang erat kaitannya dengan keimanan mereka. Tentu memahamkan ini bukan menjadi tanggung jawab sekolah. Sekolah hanyalah salah satu pihak yang bersinergi agar kesehatan mental generasi terjaga.
Peran Besar Jangan Diabaikan!
Yang punya andil besar menjaga kesehatan mental anak-anak adalah orang tua yang menanamkan akidah dari dalam rumah, hingga nantinya mampu membentengi anak-anak dari segala bentuk perilaku yang akan merenggut masa depannya. Orang tua sebagai madrasah ula begitu penting menjalankan peran ini, sebab merekalah penentu masa depan generasi. Pembentukan karakter remaja dari nol tentu dimulai dari dalam rumah.
Karena itu, sejak dini mereka harus dibentengi dengan pemahaman akidah yang benar dan sahih, sebab itu akan menjadi bekal utama mereka untuk mengenal dunia di luar rumah. Pemahaman benar yang mereka dapatkan dari rumah tidak akan membuat benteng mereka goyah, bahkan tidak terjerumus ke lembah gelapnya dunia luar yang mengancam eksistensi mereka. Dengan pemahaman yang benar ini, mereka akan menjadi generasi yang memiliki daya juang yang tinggi tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai generasi muslim.
Pun, tak kalah penting peran negara wajib menjamin kemaslahatan warga negaranya, termasuk generasi. Negara memiliki andil besar dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam agar terbentuk kepribadian Islam pada diri anak remaja. Gambaran pendidikan di dalam Islam akan membentuk pola pikir dan pola sikap sebagaimana tuntunan Islam. Mereka akan menjadikan akidah Islam sebagai sandaran dalam melakukan segala aktivitasnya. Mereka akan mampu menempatkan teknologi di ruang yang benar, sehingga tidak menjadikan kecanggihan teknologi sebagai kiblat hidup mereka. Dengan pola ini pula, generasi akan memahami bagaimana menyelesaikan permasalahan kehidupan yang tengah mereka jalani.
Wallahu a’lam bishawab.[]