Catatan.co, Kaltim- Bukan Sekadar Pengendalian, Namun Pelarangan. Sudah beberapa bulan kasus miras (minuman keras) trending di Jogja. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk membasmi maraknya tempat-tempat penjualan miras. Sebagaimana dilansir dari harianjogja.com (10-11-2024), Pemkab Sleman menertibkan 62 tempat penjualan miras atau minuman beralkohol ilegal yang tersebar di 17 kapanewon. Pemkab Sleman melalui Satuan Polisi Pamong Praja bersama jajaran kepolisian dan TNI terus gencar melakukan penertiban penjualan minuman keras, termasuk juga minuman oplosan.
DIY bukan saja terkenal di wisata turis lokal tetapi juga terkenal di turis mancanegara.
DIY yang sangat populer dengan kawasan wisatanya di mata dunia, tak ayal ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Wisatawan mancanegara tentu saja sangat berteman dengan minuman beralkohol. DIY sebagai tuan rumah pariwisata sangat mensuport itu. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Ketua GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia), bahwasanya kita perlu mengedukasi masyarakat mengenai bagaimana minuman keras ini bukanlah hal yang negatif, tetapi bagian atau supporting kita yang menjadi tuan rumah pariwisata di DIY.
Namun, patut dipertimbangkan lebih jauh bahwa keberadaan miras ini menjadi pintu atau celah lahirnya berbagai kerusakan-kerusakan yang ada, bahkan menimpa anak remaja. Padahal, kita tahu bahwa remaja atau pemuda merupakan aset suatu bangsa. Telah ditemukan banyak yang tewas akibat miras, baik itu di Gamping, Bantul, Kulonprogo, dst. Ketika pemudanya seperti ini, rusak, maka bangsa ini akan hancur. Sebab bangsa ini telah kehilangan sosok-sosok pengisi dan atau yang menjalankan roda kepemimpinan di masa depan.
Ramai warga DIY, termasuk di dalamnya tokoh agama menolak tegas keberadaan outlet miras yang marak, tetapi hasilnya tidak sesuai ekspektasi masyarakat, karena regulasi miras ini hanya sebatas pengendalian dan pengawasan saja, bukan pada pelarangan. Lalu di mana letak memprioritaskan perlindungan terhadap masyarakat lokal yang sudah banyak menimbulkan dampak negatif yang bersinggungan langsung dengan kehidupan, adat, serta budaya mereka?
Seyogianya pemerintah mempunyai pandangan bahwa minol/khamar adalah produk haram, sekalipun bernilai ekonomi. Ketika merujuk pada standar kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme, maka miras itu membawa dampak positif, seperti menambah pendapatan negara, membuka lapangan kerja, menggerakkan sektor pariwisata, dan mendapatkan cukai. Padahal, dalam paradigma Islam, produksi, promosi, dan distribusi khamar di tengah masyarakat dilarang keras, bahkan ada sanksi tegas. Sesuatu yang dilarang agama tidak mungkin dihalalkan dengan dalih kebebasan dan hak asasi manusia.
Dampak lain yang ditimbulkan tentunya mengganggu ketenangan masyarakat. Mereka tidak bisa hidup tenang dan aman akibat maraknya peredaran miras, sebab miras akan memicu perbuatan kriminal lainnya. Sebagai umat Islam, tentu kita tahu bahwa di dalam kitabullah dijelaskan khamar itu haram (QS. Al-Maidah [5]: 90-91). Keharamannya ini tentu diketahui oleh masyarakat muslim, termasuk pemangku kebijakan. Berdasarkan ayat ini, harapannya pemerintah menegakkan regulasi pelarangan bahwa tidak boleh ada pemilik usaha yang memproduksi dan mengedarkan khamar dalam kehidupan publik. Wallahu a’lam bishawab.[]
Oleh. Miladiah al-Qibthiyah
(Aktivis Muslimah DIY)