catatan.co – Kampus Kelola Tambang, Bagaimana Islam Memandang? Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kaltim Menggugat (Mahakam) mendesak DPRD Kaltim untuk menyatakan sikap terkait isu pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi. Aksi ini tidak hanya terjadi di kampus kaltim, tetapi juga di berbagai kampus di tanah air. Puncaknya, aksi mahasiswa yang terus bergulir bertajuk “Demo Indonesia Gelap” akan kembali menggelar tuntutan aksi susulan pada Jumat, 21 Februari 2025 di depan Istana Negara, Jakarta. Sejumlah elemen mahasiswa dan masyarakat akan membawa 17 tuntutan mereka terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. (https://kaltimpost.jawapos.com/utama/2385615438/mahasiswa-kaltim-tolak-wacana-kampus-kelola-tambang-pertanyakan-sikap-dprd)
Pro Kontra Kampus Kelola Tambang
Aksi yang terjadi adalah bentuk protes mahasiswa dan masyarakat terhadap kebijakan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia terkait dengan pengelolaan izin usaha pertambangan (IUP) setelah Undang-Undang Mineral dan Batu Bara atau UU Minerba disahkan. Adapun beleid ini telah disahkan dalam rapat paripurna yang digelar DPR Selasa, 18 Februari 2025. Bahlil berujar, perguruan tinggi yang membutuhkan bisa mengajukan izin pengelolaan. Tujuannya agar perguruan tinggi bisa melakukan kerja sama dalam riset, pemberian beasiswa, atau dukungan fasilitas kampus.
Namun, hal ini menuai kontroversi di banyak kalangan. Salah satunya pernyataan Dosen Universitas Andalas Feri Amsari, beliau mengatakan bahwa izin kampus kelola tambang bukan hanya sekadar bisnis, tetapi juga bisa memecah belah perguruan tinggi. Fenomena ini mirip dengan upaya membelah ormas seperti Muhammadiyah dan NU, yang awalnya berbasis keadaban, tetapi kemudian terdorong ke arah perhitungan ekonomi.
Menurutnya, saat ini kampus berada dalam ancaman serupa. “Berbagai kepentingan berupaya mengarahkan institusi akademik ke ranah keuntungan bisnis tambang, yang berimplikasi pada fragmentasi internal,” tambahnya. Feri menilai ketika kampus berubah menjadi entitas bisnis tambang, objektivitas akademik mustahil tercapai. Menurut dia, fenomena ini merupakan dilema besar yang secara sistematis telah disebarluaskan pemerintahan sebelumnya.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Syaiful Bachtiar, pengamat kebijakan publik dari Universitas Mulawarman. Beliau menilai bahwa kebijakan kampus mengelola tambang sarat kepentingan. Menurutnya, kebijakan pengelolaan tambang oleh kampus adalah kelanjutan lepas tanggung jawab pemerintah dari dunia pendidikan setelah dijadikan PTN-BH.
“Logikanya dari awal terbalik, negara kok tidak mau membiayai perguruan tinggi negeri,” ucapnya kesal. Syaiful menilai, tugas perguruan tinggi adalah memenuhi Tridharma Perguruan Tinggi untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang berkualitas. Bukan justru disuruh mengelola usaha untuk pembiayaannya. (https://www.instagram.com/reel/DFqFgWQvGtj/?igsh=eTh0MDhpZ2V6amR4)
Akibat Sistem Sekuler
Aksi kekritisan mahasiswa dalam menolak pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi patut diacungi jempol. Namun, aksi saja tidak cukup jika tidak menyentuh akar masalah mengapa kebijakan itu dibuat. Perubahan yang disuarakan oleh mahasiswa masih sebatas reformasi seperti menolak efisiensi anggaran pendidikan, menolak revisi undang undang minerba, serta evaluasi penuh program makan bergizi gratis, bukan revolusi. Padahal, jika ditelusuri setiap kebijakan yang terlahir adalah buah dari diterapkannya sistem ekonomi dan sistem pendidikan kapitalisme sekuler.
Maka, wajar pula jika peran negara dipertanyakan oleh publik. Mengapa pengelolaan tambang yang seharusnya menjadi tugas negara tetapi dialihkan ke swasta bahkan ke perguruan tinggi? Inilah bukti bahwa negara hanya berperan sekadar regulator. Pahitnya lagi, kedaulatan negara seolah tergadai karena tidak punya kuasa atas SDA yang ada, bahkan hanya mendapatkan royalti yang kecil dan pajak dari perusahaan yang mengelola SDA.
Padahal, jika negara mengelola sendiri kekayaan negeri ini sangatlah besar dan bisa menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya rakyat dibebani pajak, biaya pendidikan dan kesehatan mahal, lapangan pekerjaan yang terbatas, dan sejumlah masalah ekonomi, pendidikan, dan sosial lainnya.
Baca Juga: Kampus Kelola Tambang
Sudah seharusnya mahasiswa sadar bahwa sejumlah masalah di dunia pendidikan hari ini tidak lain buah dari diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler yang tidak berlandaskan Islam. Akibatnya, PT kehilangan fokus utamanya dalam mencetak intelektual yang bertakwa dan bermanfaat serta kehilangan kekritisannya dalam mengoreksi kebijakan negara, karena telah disibukkan dengan pengelolaan tambang. Pada akhirnya negara cenderung lepas tangan dan melimpahkan tanggung jawab pendidikan ke masing-masing kampus dengan konsep PTN-BH. Kampus pun kurang dana sehingga terbebani.
Pandangan Islam
Dalam sistem Islam, kampus merupakan lembaga pendidikan yang fokus membentuk syakhsiyah islamiyah dan generasi unggul dengan karya terbaik untuk kontribusi kepada umat. Kekritisannya dilakukan dalam mengoreksi kebijakan negara, bukan disibukkan untuk mengelola tambang yang ujung orientasinya adalah mengumpulkan materi dan prestasi, tetapi minim ilmu dan adab.
Islam juga mempermudah dengan menetapkan pembiayaan kampus ditanggung oleh negara dari kas kepemilikan umum, termasuk pertambangan. Negara wajib mengelolanya untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk sarana umum termasuk layanan pendidikan yang murah, mudah dan merata.
Karena itu, Islam telah mengklasifikasi kekayaan publik dan mengharamkan pengelolaan pertambangan oleh individu atau swasta, termasuk perguruan tinggi. Rasulullah saw bersabda:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ
Artinya, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah)
Wallahu a’lam bishawab. []
Penulis. Nur Amal, S.Pd.
Guru dan Aktivis Dakwah