Search
Close this search box.

Bukan Sekadar Ucapan, Toleransi Kebablasan Merusak Akidah

Bukan sekadar ucapan toleransi kebablasan merusak akidah

catatan.co – Bukan seharusnya latah ikut merayakan perayaan Natal yang selalu diadakan setiap tahunnya pada tanggal 25 Desember bagi umat Kristiani.

Namun, mengapa masih ada saja sebagian umat Islam yang terlibat merayakan dan mengucapkan selamat, bahkan kementerian dan penguasa? Segenap Kantor Kementerian Agama Kota Balikpapan mengucapkan Selamat Hari Natal Tahun 2024.

“Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” (Roma 12:10 (https://www.instagram.com/p/DD_zPKrvuKo/?igsh=MTQxY3o4cHJ1bHVudg==).

Para tokoh agama dari Kristen dan Katolik hadir bersama-sama mengikuti perayaan Natal Nasional tahun 2024 di Ruang MDC Kanwil Kemenag Kaltim pada Sabtu (28/12/2024) malam.

Selain itu, dengan didampingi oleh Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Timur, H. Murdi, para tokoh agama ikut bersama-sama dalam perayaan Natal yang disiarkan langsung dari Indonesia Arena Gelora Bung Karno Jakarta.

Sementara itu, dalam pidatonya, presiden mengapresiasi perayaan ini sebagai bentuk kemajemukan bangsa Indonesia. Tak lupa, presiden mengucapakan selamat hari Natal dan Tahun Baru bagi umat Kristen dan Katolik. “Selamat hari Natal dan selamat Tahun Baru kita semua, semoga Tuhan memberikan kepada kita kebaikan dan perdamaian di tahun yang akan datang,” Presiden Prabowo mengakhiri pidatonya. (https://kaltim.kemenag.go.id/berita/read/524868)

Toleransi Bukan Mengikuti

Ucapan dan keterlibatan para penggawa negeri dalam acara Nataru ini dianggap mencerminkan toleransi yang tinggi sebagai wujud kerukunan yang indah antarumat bergama. Dengan dalih toleransi, momen ini diharapkan dapat makin mempererat hubungan antarumat beragama dan memperkuat persatuan.

Moderasi beragama yang digaungkan di berbagai daerah di negeri ini, sepertinya membuahkan hasil. Hal ini lantaran seruan moderasi dan toleransi dianggap solusi masalah keberagaman di tengah masyarakat.

Padahal, ada bahaya yang mengintai ketika seorang muslim memberikan ucapan bahkan turut terlibat dalam perayaan agama lain, yakni ide pluralisme dan toleransi yang kebablasan.

Walaupun sekadar mengucapkan hari perayaan mereka, tetapi ide ini secara nyata bisa merusak akidah umat Islam. Jadi, bukan sepatutnya dilakukan. Sebab pluralisme agama merupakan paham kemusyrikan yang menyamakan semua agama.

Pluralisme agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Hal inilah yang menyebabkan merebaknya umat Islam mengikuti perayaan agama lain.

Toleransi dalam Islam

Berbeda dengan keragaman yang sunatullah telah ditetapkan oleh Allah, toleransi beragama memiliki batas-batas yang harus dijaga bukan malah mengikuti perayaan agama lain. Sebagaimana QS. Al-Kafirun ayat 1-6 yang secara tegas melarang umat Islam mencampuradukkan ajaran agama.

Prinsip ini memastikan bahwa toleransi tidak berarti meleburkan keyakinan yang berbeda menjadi satu. Toleransi (tasamuh) bukan hal yang baru di dalam Islam, karena pada saat Rasulullah saw. masih hidup pun, telah ada banyak perbedaan dalam masyarakat yang hidup di Makkah dan Madinah kala itu.

Kendati demikian, sikap dan perilaku Nabi saw. selalu mencontohkan pada perbuatan yang toleran kepada kaum yang tidak seakidah.

Rasulullah dan umat Islam senantiasa menjaga hubungan yang harmonis dengan nonmuslim. Akan tetapi, hal ini tidak pernah menjadikan beliau ikut campur terkait hari raya mereka.

Jalaludin Asyuyuti dalam kitab Ad Dur Al Manshur menuliskan, ketika Rasul saw. diajak bernegosiasi oleh tokoh nonmuslim yang mengajak nabi untuk bergantian beribadah dengan cara mereka dan mereka akan menyembah sesuai dengan ibadah cara nabi. Kemudian Allah menurunkan surah Al-Kafirun yang menjelaskan tidak boleh dilakukannya hal tersebut, sehingga negosiasi tersebut di tolak oleh Nabi Muhammad saw.

Ini jelas bahwa peribadatan tidak boleh dicampuradukkan. Umat Islam telah memberikan teladan bagaimana praktik toleransi dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara yang terbukti secara empiris dan historis.

Melalui Watsîqah Madînah pada 622 M, Rasul saw. telah meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antarumat beragama, mengakui eksistensi nonmuslim sekaligus menghormati peribadatan mereka. Piagam Madinah yang dirumuskan Rasul saw. itu merupakan bukti otentik mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang dipraktikkan umat Islam.

Hal ini juga dilakukan Khalifah Umar bin al-Khattab ra. ketika membebaskan Baitulmaqdis (Yerussalem), Palestina. Saat itu Khalifah Umar menandatangani perjanjian damai dengan Pendeta Safronius yang merupakan pemimpin umat Nasrani di Yerussalem. Perjanjian yang dinamai Ihdat Umariyah itu memberikan jaminan kepada warga nonmuslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka.

Khalifah Umar tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam dan tidak menghalangi mereka untuk beribadah sesuai keyakinannya. Mereka hanya diharuskan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan pada pemerintahan Islam. Toleransi di antara umat beragama tetap menjadi perhatian para khalifah dari masa Daulah Umayah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah.

Sejarah peradaban Islam telah memperlihatkan bukti toleransi yang mengakui keberagaman antarwarga daulah. Rumah mereka berdekatan tempat ibadah, sehingga rasa aman, nyaman, serta kerukunan antarumat beragama dapat dirasakan meski oleh minoritas sekalipun.

Wallahu’alam bishawab. []