catatan.co – Pencairan Beasiswa Kaltim Tuntas kepada 47.185 penerima terus berjalan. Hanya saja, prosesnya tidak selancar yang diharapkan. Hal itu terlihat dari keluhan sejumlah peserta penerima. Setelah sempat terkendala dengan pencairan yang terlambat, ada pula penerima yang kesulitan mendapatkan kejelasan dari para penyelenggara. (https://kaltimpost.jawapos.com/utama/2385434052/pencairan-beasiswa-kaltim-tuntas-masih-bermasalah-mahasiswa-keluhkan-minimnya-respons-penyelenggara)
Beasiswa Bersyarat
Dari fakta tersebut, bisa kita lihat bagaimana negara seakan setengah hati dalam pemenuhan pendidikan melalui beasiswa. Syarat dan ketentuannya begitu berbelit-belit, bahkan ada kemungkinan beasiswa tersebut terancam hilang ketika tidak terpenuhi syaratnya.
Sayangnya, keluhan beasiswa dengan berbagai problemnya hanya dianggap masalah biasa perlu perbaikan administrasi ke depannya. Padahal, bukan hanya administrasinya yang perlu dibenahi, tetapi paradigma sistem pendidikan komersial kapitalistiklah yang harus dikaji ulang.
Salah satu penerima yang menghadapi kendala adalah Eka, mahasiswa asal Samarinda. Ia mendaftar beasiswa jenis stimulan pada Maret 2024. Setelah melalui tahap pemberkasan hingga skoring, Eka dinyatakan diterima dengan beberapa syarat perbaikan.
Pada Oktober 2024, diumumkan di website Beasiswa Kaltim Tuntas bahwa namanya masuk daftar perbaikan nomor rekening. Eka mengatakan kepada Kaltim Post, Selasa, (17/12) hal tersebut pun sudah diperbaiki.
Eka menjelaskan bahwa proses pencairan untuk kategori stimulan sudah dimulai secara bertahap pada awal November 2024. Akan tetapi, ia belum menerima kepastian soal pencairan dana beasiswa tersebut. Bahkan, status penerimaannya berubah dan membingungkan.
Pada akhir November, namanya masuk daftar gagal salur. Alasannya, disebutkan karena nomor rekening salah input, rekening pasif, atau tidak aktif. Padahal, rekeningnya sudah sesuai dan aktif.
Kebingungan Eka bertambah karena statusnya yang awalnya “pencairan proses” tiba-tiba berubah menjadi “gagal salur.” Akhir November, Eka sudah input ulang nomor rekening di sistem, meskipun sebelumnya tidak ada kesalahan. Namun, tetap saja belum ada kejelasan. Eka menilai bahwa pelayanan informasi dari pihak penyelenggara masih kurang maksimal. Ia pun mengaku kesulitan mendapatkan penjelasan yang konkret terkait kendala yang ia alami. (https://kaltimpost.jawapos.com/utama/2385434052/pencairan-beasiswa-kaltim-tuntas-masih-bermasalah-mahasiswa-keluhkan-minimnya-respons-penyelenggara)
Ketika Kapitalisme Mengatur Beasiswa
Sulitnya mendapatkan beasiswa hari ini dikarenakan paradigma kapitalisme dalam pendidikan. Rakyat miskin seolah dilarang sekolah atau kuliah. Ribetnya persyaratan beasiswa dari sisi ekonomi menunjukkan tergadainya pendidikan gratis dan terabaikannya rakyat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Hal ini akan terus terjadi selama peran negara hanya difungsikan untuk kepentingan bisnis. Negara pun rela mengorbankan visi misi mulia pendidikan. Apalagi, sistem ekonomi hari ini tidak mampu mengelola kekayaan SDA sebagai sumber pemasukan negara untuk pembiayaan pendidikan.
Hadirnya beasiswa bukannya menjadi solusi untuk rakyat miskin atau jalan agar dapat kuliah, yang ada malah menjadi lahan bisnis bagi para korporat untuk mengendalikan mahalnya biaya pendidikan. Eksisnya gagasan kapitalisme telah berhasil meredam sikap kritis mahasiswa atas kesejahteraan rakyat.
Pungutan biaya pendidikan SD meningkat 35% menjadi Rp3,24 juta, SMP meningkat 32,15% menjadi Rp5,59 juta, dan SMA meningkat 19,44% menjadi 7,8 juta. Sedangkan tingkat perguruan tinggi, pungutan biaya sebesar Rp14,47 juta. Meskipun nilainya lebih rendah dari tahun sebelumnya yakni sebesar Rp15,33 juta, jumlah pungutan biaya naik hampir dua kali lipat dibandingkan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Sayangnya, pungutan biaya dan mahalnya pendidikan sekuler ini, tidak mampu menuntaskan pendidikan rakyat dengan kualitas terbaik.
Mengutip data BPS, penyelesaian pendidikan tingkat SD mencapai 97,37%, tingkat SMP turun menjadi 88,88%, dan tingkat SMA hanya 65,94%. Hal tersebut dikarenakan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Tergambar dalam hasil survei HSBC pada 2018, bahwa Indonesia berada di urutan ke-15 sebagai negara dengan biaya pendidikan termahal secara global. (https://www.new-indonesia.org/biaya-pendidikan-picu-inflasi-pengamat-sebut-anggaran-pendidikan-salah-sasaran)
Pungutan biaya sedikit saja sudah memberatkan. Apalagi, tingginya total biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga kuliah, tentu akan menjadi penghalang rakyat untuk bisa menyelesaikan pendidikan hingga tuntas. Ditambah lagi kebanyakan rakyat berasal dari keluarga miskin. Penghasilan penduduk miskin jika dialokasikan sepenuhnya untuk biaya pendidikan mungkin hanya mampu mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP atau sederajat saja.
Islam Menjamin Pendidikan Gratis dan Berkualitas
Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
Juga dalam hadis, “Imam/Khalifah itu laksana gembala (raa’in), dan dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, pemenuhan terhadap akses pendidikan merupakan kewajiban negara. Dalam Islam, aspek pendidikan dipandang sebagai kebutuhan publik, sehingga tidak dibebankan kepada individu rakyat. Akan sangat berat jika kebutuhan publik harus dibiayai secara pribadi.
Maka dari itu, pentingnya kehadiran negara dalam membiayai pendidikan. Hal tersebut sebagai wujud pengurusan urusan umat dari penguasa kepada rakyatnya. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang memandang pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Apalagi, adanya UU Cipta Kerja menjadikan pendidikan sebagai satu klaster ekonomi, sehingga lulusan sistem pendidikan hari ini hanya mencetak generasi pekerja, alih-alih generasi pemikir dan pemimpin.
Sedangkan sistem Islam yang menyelenggarakan pendidikan sebagai kebutuhan asasi publik, memosisikan pendidikan sebagai bagian dari kewajiban menuntut ilmu yang harus ditunaikan secara proporsional. Pendidikan adalah masa depan peradaban yang pendanaannya harus ditanggung sepenuhnya oleh negara. Pendidikan dalam Islam tidak akan menzalimi rakyat dengan memberikan syarat yang rumit untuk menjangkaunya.
Sistem pendidikan Islam akan mencetak generasi terbaik dan berkualitas dengan biaya gratis dari negara. Rakyat tidak dibiarkan memikirkan dan terbebani secara individual untuk berlangsungnya pelaksanaan pendidikan. Karena Islam memiliki pos pendanaan untuk membiayai kebutuhan publik seperti pendidikan, yakni baitulmal di mana di dalamnya terdapat harta kepemilikan umum yang siap untuk mendanai pendidikan di berbagai jenjang dengan sarana dan prasarana yang lengkap. Fasilitas pendidikan akan diberikan kepada semua rakyat, baik miskin atau kaya secara gratis dan berkualitas.
Wallahualam bishawab.[]