Search
Close this search box.

Kenaikan PPN 12% : Rakyat Menjerit di Tengah Ekonomi Sulit

Kenaikan PPN 12% : Rakyat Menjerit di Tengah Ekonomi Sulit

catatan.co, Kaltim – Kenaikan PPN 12% : Rakyat Menjerit di Tengah Ekonomi Sulit. Telah digelar aksi Refleksi Akhir Tahun dengan Tema “Kilas Balik 2024” yang diselenggarakan oleh puluhan kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada hari Senin (30/12/2024) di Kawasan Taman Samarinda.

Puluhan kader HMI memadati aksi dan membentangkan spanduk di sepanjang Jalan Taman Samarendah ⁹serta berorasi pada kegiatan aksi tersebut. Aksi ini merupakan bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang diberlakukan di tahun 2025.

Syahril Saili, yang merupakan Ketua Umum HMI Cabang Samarinda, mengatakan bahwa gelaran aksi ini merupakah wujud kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak terutama pada masyarakat kecil. “Kami kecewa. Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang kenaikan PPN 12% ini, bahkan jika perlu dibatalkan, kebijakan ini sangat membebani Masyarakat kecil”, ucap Syahril.

Syahril juga mengungkapkan, HMI Cabang Samarinda selalu menjadi mitra strategis sekaligus kritis bagi pemerintah. Kebijakan yang membawa dampak baik akan diapresiasi dan yang salah akan dikritisi. Aksi ini juga merupakan refleksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pemerintah selama tahun 2024 terhadap kepentingan rakyat.

Sebagai penutup, Syahril mengingatkan kepada seluruh kader HMI untuk terus berjuang dan berpegang pada tujuan utama HMI, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridai Allah Swt.. (https://kaltimnyapa.com/hmi-cabang-samarinda-gelar-refleksi-akhir-tahun-kritik-kenaikan-ppn-12/)

Kenaikan Pajak dalam Kapitalisme Membebani Rakyat

Berdasarkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa tarif PPN 11% mulai berlaku pada 1 April 2022 dan PPN 12% akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Pemerintah mengemukakan alasan kenaikan PPN 12% dikarenakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur, meningkatkan sektor pendidikan, kesehatan, dan program sosial.

Sistem kapitalisme yang diadopsi negeri ini menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama pendapatan negara. Sehingga, pembayaran pajak menjadi konstribusi wajib yang dikenakan oleh setiap warga negara yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Pendapatan dari kontribusi pajak dalam negara mencapai 80,32% (BPS, 2023). Ini merupakan sebuah angka yang besar. Akibatnya, keberadaan pajak menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari.

Tidak hanya itu, kenaikan tarif pajak maupun berbagai jenis pungutan sering kali dianggap sebagai langkah yang wajar untuk menutupi defisit anggaran atau meningkatkan penerimaan negara. Mirisnya, kebijakan ini kerap kali tidak memedulikan dampak langsung terhadap masyarakat, terutama kalangan bawah yang menjadi pihak paling rentan menanggung beban pajak yang berat. Ditambah lagi, sulitnya kondisi ekonomi makin menyempurnakan penderitaan yang dialami rakyat.

Ketika pajak menjadi sumber pendapatan utama negara, hakikatnya rakyat dipaksa untuk mandiri membiayai kebutuhun hidup mereka terhadap berbagai layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrasutruktur, dan lain-lain. Alih-alih mengelola kekayaan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat, pemerintah dalam sistem kapitalisme justru bergantung pada konstribusi rakyat melalui pajak. Hal ini menggeser peran negara yang seharusnya menjadi pengurus, pelindung, dan pengayom rakyat menjadi sekadar pihak yang menarik dan mendistribusikan pajak, tanpa memberikan jaminan kesejahtaraan rakyat.

Selain itu, rakyat yang membayar pajak justru sering kali harus menghadapi pelayanan yang tidak memadai atau akses terbatas terhadap pelayanan publik. Belum lagi korupsi yang rentan terjadi di kalangan para penguasa yang digaji dari uang rakyat, tetapi kinerja penguasa saat ini masih jauh dari kata amanah dan adil. Alhasil, pajak sejatinya hanya berupa pemalakan yang berkedok pembangunan negara.

Ketika Negara Menjadi Regulator

Dalam sistem kapitalisme, negara cenderung hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator yang mendukung kepentingan para pemilik modal besar. Kebijakan-kebijakan yang diambil sering kali berorientasi pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi, yang pada praktiknya lebih menguntungkan kalangan pengusaha. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah pemberian insentif pajak atau pengurangan beban pajak kepada perusahaan-perusahaan besar dengan dalih mendorong masuknya investasi asing dan memperkuat daya saing nasional.

Hal ini menunjukkan bahwa negara dalam sistem kapitalisme lebih cenderung melayani mereka yang memiliki modal besar daripada memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya. Di sisi lain, kekayaan alam yang berlimpah, sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara untuk mengurusi rakyat, malah disekat-sekat untuk para kapitalis dan oligarki. Sebaliknya, di bawah sistem ini, rakyat biasa sering kali menjadi sasaran utama berbagai pungutan pajak yang sifatnya ‘wajib’ tanpa mendapatkan perlakuan yang setara dalam hal fasilitas atau layanan.

Ketika negara terlalu fokus pada kepentingan pengusaha besar dan kurang memperhatikan kebutuhan dasar rakyat, beban pajak yang ditanggung oleh masyarakat menjadi makin berat. Rakyat kecil yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, merekalah yang justru terus-menerus dibebani dengan berbagai pungutan negara. Ditambah pula gelombang PHK yang menghantui dan kenaikan harga barang serta kebutuhan hidup yang melambung tinggi, yang sudah pasti makin mencekik kondisi rakyat.

Pandangan Islam

Dalam sistem Islam, pajak (dharibah) dipandang bukan sebagai sumber pendapatan utama negara, melainkan alternatif terakhir yang hanya diterapkan dalam kondisi tertentu. Pajak dalam Islam diberlakukan jika kas negara dalam keadaan kosong atau tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mendesak, seperti pembiayaan jihad, penanganan bencana alam atau bantuan darurat lainnya.

Selain itu, pungutan pajak ini hanya dibebankan kepada kalangan tertentu, yakni mereka yang memiliki kelebihan harta setelah mencukupi kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Berbeda secara mendasar dibandingkan dengan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara.

Rasulullah saw. Melarang keras pungutan pajak atas rakyat dan mengancam pemungutnya. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)

Islam memiliki sumber pendapatan yang kaya dan beragam, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan negara tanpa membebani rakyat secara berlebihan. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber-sumber ini meliputi zakat, fai dan ganimah (harta rampasan perang), kharaj (pajak tanah produktif), jizyah (pajak dari nonmuslim), pengelolaan sumber daya alam, dan aset umum yang dikelola negara. Pendekatan ini memastikan bahwa kebutuhan finansial negara dapat terpenuhi tanpa harus mengandalkan pajak yang memberatkan rakyat.

Dengan pengaturan yang adil dalam sistem politik dan ekonomi Islam, negara Islam mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, hingga level individu per individu. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Contohnya, hasil pengelolaan zakat di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz digunakan untuk membantu fakir miskin hingga tidak ada lagi orang yang membutuhkan bantuan.

Lebih dari itu, Islam menetapkan penguasa sebagai  raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Islam juga mengharamkan penguasa untuk mengambil harta rakyat tanpa hak, apalagi memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Rasulullah saw. telah bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Penguasa memiliki tanggung jawab besar untuk mengelola harta rakyat dengan amanah dan bijaksana. Harta yang dikelola negara, baik berupa sumber daya alam, zakat, pajak tertentu, maupun pendapatan lainnya, wajib dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas umum dan layanan yang bermanfaat. Hal ini meliputi penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur, transportasi, dan kebutuhan publik lainnya yang mendukung kehidupan masyarakat.

Tujuan utama dari pengelolaan harta ini adalah untuk memudahkan hidup rakyat, menjamin kesejahteraan mereka, dan menghilangkan kesenjangan sosial. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, dana dari baitulmal digunakan untuk membangun jalan, pasar, dan irigasi yang mendukung aktivitas ekonomi rakyat. Dengan pendekatan seperti ini, Islam menekankan bahwa negara harus berfungsi sebagai pelindung dan pengurus rakyat, bukan sekadar regulator atau fasilitator seperti dalam sistem kapitalisme. Penguasa tidak diperbolehkan menyalahgunakan harta rakyat, melainkan harus memprioritaskan kepentingan umat secara keseluruhan.

Demikianlah, kepemimpinan dan penerapan syariat Islam kaffah akan melahirkan kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan umat secara nyata.

Wallahualam bishawab.[]