Otonomi Daerah dalam Bayang Kapitalisme

Otonomi Daerah dalam Bayang Kapitalisme

Catatan.co – Otonomi Daerah dalam Bayang Kapitalisme. Baru-baru ini publik dikejutkan oleh perdebatan yang muncul terkait pengalihan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara. Isu ini memicu reaksi keras dari sejumlah pihak di Aceh, mengingat Aceh memiliki kekhususan dalam kerangka pemerintahan di Indonesia. Tak hanya soal identitas dan batas wilayah, pengalihan ini juga diwarnai dengan dugaan adanya kandungan minyak dan gas (migas) yang potensial di wilayah tersebut. Hal tersebut menjadikan konflik ini makin tajam karena menyangkut potensi kekayaan alam.

Anggota DPR asal Aceh, Muslim Ayub, menyakini polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) berkaitan dengan potensi kandungan minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut. Muslim menilai potensi cadangan migas di empat pulau itu menjadi alasan utama bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengalihkan batas wilayah dari Aceh menjadi Sumut. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250615012345-32-1239850/polemik-4-pulau-aceh-sumut-anggota-dpr-duga-berkaitan-potensi-migas)

Otonomi Daerah ala Kapitalisme

Apa yang terjadi, sejatinya adalah salah satu buah dari sistem otonomi daerah (Otda) yang diterapkan di Indonesia sejak era reformasi. Otda memang menawarkan desentralisasi kekuasaan, tetapi pada kenyataannya juga membuka pintu bagi persaingan antarwilayah, ketimpangan pembangunan, bahkan potensi disintegrasi yang makin besar. Semua ini tak lepas dari watak dasar sistem ini yang berakar pada demokrasi sekuler-kapitalistik.

Otonomi daerah bukanlah konsep netral. Ia lahir dari rahim sistem demokrasi liberal dan kapitalisme modern, yang berkembang di Barat pasca-revolusi industri. Sistem ini dirancang bukan untuk membangun keadilan merata, melainkan untuk mendorong efisiensi, daya saing, dan optimalisasi sumber daya demi pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, setiap daerah diberi kewenangan mengelola urusan pemerintahan dan pendapatan daerahnya sendiri.

Terdengar ideal, tetapi dalam praktiknya, Otda menciptakan ketimpangan nyata. Daerah yang kaya sumber daya akan maju pesat karena memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Daerah miskin akan tertinggal dan bergantung pada transfer dana pusat yang sering kali tidak cukup dan bersifat politis.

Perbedaan kesejahteraan ini bisa menciptakan kecemburuan sosial, bahkan potensi konflik antarwilayah sebagaimana yang terjadi antara Aceh dan Sumut. Tidak heran jika isu dugaan kandungan migas di wilayah empat pulau tersebut memicu kecurigaan dan konflik perebutan wilayah. Karena dalam logika kapitalisme, kekayaan alam adalah sumber kekuatan ekonomi dan politik, bukan amanah untuk kesejahteraan bersama.

Sistem otonomi membuat identitas daerah lebih menonjol dibanding identitas nasional maupun umat. Setiap kepala daerah berpikir untuk kepentingan lokal, sering kali dengan mengesampingkan kepentingan nasional atau lebih-lebih kepentingan umat. Akibatnya, muncul ego sektoral antarprovinsi atau antardaerah.

Potensi konflik wilayah pun semakin besar. Kesenjangan pembangunan antarwilayah menjadi niscaya. Parahnya, hal ini juga menciptakan ruang bagi sentimen separatis dan disintegrasi.

Selain itu, Otda juga menyuburkan mentalitas kue pembangunan dibagi rata berdasarkan kekuatan tawar-menawar politik, bukan atas dasar kebutuhan riil rakyat. Maka tak aneh, jika perebutan aset wilayah menjadi makin biasa. Terlebih, ketika terdapat kekayaan sumber daya di dalamnya.

Pandangan Islam

Berbeda dengan sistem otonomi dalam demokrasi kapitalistik. Islam mengatur wilayah negara dengan sistem sentralistik di bawah satu kepemimpinan politik yaitu Daulah Islam. Dalam Daulah Islam, seluruh kekayaan alam dikelola negara pusat, bukan oleh masing-masing wilayah. Hasil pengelolaan dibagikan secara merata kepada seluruh rakyat, tanpa memandang wilayah asal.

Wilayah dalam negara Islam disebut wilayah, bukan negara bagian. Sehingga tidak ada konsep rebutan kewenangan antarwilayah. Tidak ada PAD karena semua pendapatan adalah milik negara dan digunakan untuk semua rakyat secara adil.

Apa yang termasuk kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu. Negara wajib mengelola serta mengembalikannya kepada rakyat dalam bentuk manfaat dan pelayanan. (Taqiyyudin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 428)

Dalam sistem ini, negara wajib memastikan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah, termasuk di daerah terpencil sekalipun. Negara juga berkewajiban membangun infrastruktur, fasilitas publik, dan ekonomi rakyat tanpa syarat PAD besar atau tidak.

Islam menetapkan bahwa penguasa adalah ra’in (penggembala) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, penguasa akan dimintai pertanggungjawaban langsung di hadapan Allah Swt. atas keadilan, kesejahteraan, dan keamanan rakyatnya. Ia tidak boleh memperkaya wilayah tertentu atau golongan tertentu dengan mengorbankan wilayah lain.

Kembali pada Islam

Kasus pengalihan empat pulau ini bukan hanya soal batas wilayah atau kekayaan alam. Ini adalah simtom dari rusaknya sistem yang kita anut saat ini, yakni sistem sekularisme kapitalisme yang memecah-belah umat, menciptakan ketimpangan, dan membuka pintu konflik.

Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi sejati tidak akan datang dari tambal sulam hukum otonomi atau perbaikan birokrasi lokal. Solusi hanya akan datang dari perubahan sistemis, yaitu kembali kepada Islam secara kaffah, di mana negara dikelola oleh syariat Islam, dengan sistem pemerintahan sentralistik yang adil, yakni Daulah Islamiah.

Dengan sistem ini, tidak akan ada lagi perebutan wilayah, karena semua dikelola untuk kesejahteraan bersama. Kekayaan migas, tambang, atau sumber daya lain bukan milik daerah, tetapi amanah Allah untuk seluruh umat.

Wallahu’alam bishawab.[]

Penulis. Lia Julianti (Aktivis Dakwah Tamansari Bogor)