Search
Close this search box.

Ramadan Dalam Sistem Sekuler Maksiat Tetap Berjalan

Ramadan Dalam Sistem Sekuler Maksiat Tetap Berjalan

catatan.coRamadan dalam Sistem Sekuler, Maksiat Tetap Berjalan. Ramadan adalah bulan yang mulia. Tujuan berpuasa untuk menjadikan orang-orang beriman meraih predikat “takwa”, yakni menjalankan segala perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya di sepanjang kehidupan. Konteks menjauhi larangan-Nya berarti meninggalkan berbagai kemaksiatan. Bukan ketika bulan Ramadan saja, tetapi sepanjang tahun dan seterusnya.

Namun, sungguh miris jika kita hadapkan dengan kondisi yang terjadi pada saat ini, ketika Ramadan dibenturkan dengan fenomena hiburan, baik dari sisi aktivitas mencari hiburannya ataupun dari segi pekerjaan/usahanya. Pengaturan jam operasi tempat hiburan selama Ramadan menunjukkan kebijakan penguasa hari ini tidak benar-benar memberantas kemaksiatan.

Puasa Lanjut Maksiat Jalan

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mewajibkan klub malam, diskotek, mandi uap, serta rumah pijat tutup mulai sehari sebelum Ramadan 2025 hingga sehari setelah bulan puasa. Ketentuan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor e-0001 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata pada Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Idulfitri Tahun 1446 Hijriah/2025. Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Andhika Perkasa, ada tempat lain yang wajib tutup dalam periode yang sama, seperti arena permainan ketangkasan manual, mekanik dan/atau elektronik untuk orang dewasa.

Selain itu, kegiatan usaha pariwisata yang menjadi penunjang di klub malam dan lainnya juga wajib ditutup. Meski demikian, tempat usaha di hotel bintang empat dan lima masih diizinkan beroperasi. (https://www.metrotvnews.com/read/kewCMQBE-pemprov-jakarta-batasi-jam-operasional-tempat-hiburan-selama-ramadan)

Sedangkan di Aceh, pemerintah merevisi aturan dan imbauan bagi warga saat puasa Ramadan. Di mana tahun sebelumnya, tempat hiburan seperti biliar, play station, karaoke dilarang buka saat siang hari. Untuk tahun ini, Pemkot Banda Aceh tak lagi melarang tempat hiburan tersebut beroperasi saat siang hari selama Ramadan. Menurut Juru Bicara Pemko Banda Aceh, Tomi Mukhtar mengatakan, seruan yang telah diperbaharui ini diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih efektif dan relevan dengan kondisi terkini. (https://www.viva.co.id/berita/nasional/1802401-dianggap-terlalu-kaku-banda-aceh-tak-lagi-larang-tempat-hiburan-buka-saat-puasa?utm)

Ramadan di Sistem Sekuler

Inilah potret pengaturan hidup dalam sistem kapitalisme sekuler, yakni memisahkan aturan agama dari kehidupan. Dari sisi individu, Ramadan tak berimbas pada makin kokohnya keimanan. Karena, meskipun berpuasa kegiatan bermaksiat tetap dilakukan, atau masih banyak orang yang berpuasa sebatas menahan lapar dan dahaga. Bahkan, yang lebih miris lagi ada sebagian pihak yang menyeru agar orang yang berpuasa menghormati orang yang tidak berpuasa. Seolah kemaksiatan itu dinormalisasi, astagfirullah al-azim.

Tentu kondisi ini tidak lepas dari sistem yang diterapkan oleh negara dalam menaungi kehidupan masyarakatnya. Sistem sekularisme makin hari makin jelas memperlihatkan kepada kita, dari sisi negara paradigma yang digunakan adalah asas kemanfaatan meskipun jelas-jelas melanggar ketentuan syariat. Akhirnya, bulan Ramadan tak mampu sedikit pun mencegah praktik kemaksiatan.

Selain itu, adanya kemaksiatan model ini menunjukkan gagalnya sistem pendidikan sekuler. Lagi-lagi aturan agama dipisahkan dari kehidupan, termasuk dari sistem pendidikan. Agama sebatas pelajaran formal yang diajarkan di sekolah dengan jam minim dan diperingati ketika hari besar Islam saja. Jauh sekali rasanya jika Islam ingin dijadikan sebagai dasar dan acuan dalam pendidikan.

Dalam UU Sisdiknas 20/2013, tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Namun, tujuan ini menjadi hancur dengan diterapkannya perangkat sistem pendidikan sekuler yang justru melahirkan generasi yang minus akhlak, berkepribadian labil, dan krisis identitas.

Alhasil, muncul individu yang menyikapi Ramadan dengan tetap meraih untung sebanyak-banyaknya, entah dengan jalan halal ataupun harus melanggar syariat Islam. Bahkan, masih memikirkan kehedonisannya dengan hiburan malam, klub, serta sejenisnya.

Iman dan Maksiat Tidak Bisa Bersatu

Berbeda dengan sistem Islam. Keimanan dan kemaksiatan adalah dua hal yang tidak bisa disatukan. Kemaksiatan dalam Islam adalah pelanggaran hukum syarak.

Lebih dari itu, setiap pelanggaran (kemaksiatan) terdapat sanksi yang harus diberlakukan oleh negara, baik di bulan Ramadan maupun selainnya. Segala bentuk yang menjadi wasilah/perantara keharaman (kemaksiatan) akan dilarang serta akan diterapkan sanksi yang tegas dan menjerakan.

Terlebih, di bulan Ramadan, Rasulullah saw. bersabda, “Jika Ramadan telah tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan An-Nasa’i)

Fokus Ibadah

Umat Islam diarahkan untuk berfokus menjalani ibadah Ramadan dengan penuh keimanan, memperbanyak ibadah, serta semangat dalam melaksanakan aktivitas dakwah dan jihad fi sabilillah sebagaimana banyaknya keutamaan lain dalam Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Baca Juga: Menuju Ramadan

Dalam hadis lain, Rasul pun bersabda, “Seorang penyeru berseru, ‘Wahai pengejar kebaikan, menghadaplah! Wahai pengeru keburukan, berhentilah! Bagi Allah banyak orang-orang yang dimerdekakan dari neraka. Hal itu terjadi setiap malam’.” (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibn Khuzaimah)

Selain itu, sistem pendidikan Islam juga berperan penting dalam mencetak generasi dan umat yang bertakwa. Karena tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia memiliki kepribadian Islam. Salah satu cirinya adalah pribadi-pribadi generasi yang berpegang teguh pada syariat. Karena terikat dengan hukum syarak adalah konsekuensi dari sebuah keimanan.

Selain itu, kaidah syariat menyebutkan bahwa pada dasarnya pembuatan manusia itu terikat dengan hukum Allah. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, yang bersumber dari seruan pembuat syariat (Allah Swt.).

Khatimah

Walhasil, dalam konteks ini, seorang muslim akan memilih hiburan atau membuka usaha bahkan memilih pekerjaan yang sudah jelas diperbolehkan oleh As-Syari’ (Allah Swt.). Maka, marilah kita mengisi bulan Ramadan ini dengan fokus penuh keimanan dan ketaatan. Semoga menjadi jalan perubahan yang hakiki.

Wallahu a’lam bishawab. []

Penulis. Supartini Gusniawati, S. Pd

Aktivis Muslimah