Catatan.co – Generasi Membutuhkan Jaminan Perlindungan Siber dari Negara. Indonesia tengah bersiap menjemput Generasi Emas 2045, sebuah visi besar untuk menciptakan generasi muda yang unggul secara intelektual, berdaya saing, dan berakhlak mulia. Sejumlah langkah telah ditempuh, termasuk upaya membangun sistem layanan publik yang inklusif. Salah satu terobosannya adalah diperkenalkannya Program Peningkatan Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi TUNAS (PP Tunas) kepada organisasi internasional. Program ini membanggakan partisipasi langsung masyarakat, termasuk kelompok rentan, dalam mengevaluasi layanan pemerintah. Di atas kertas, ini adalah bentuk nyata semangat kolaboratif dan partisipatif.
Namun di tengah geliat inovasi sistemik, terdapat realitas sosial yang memprihatinkan. Menteri PPPA menyoroti bahwa media sosial kini menjadi sumber utama kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tak hanya sebagai korban, anak-anak bahkan mulai terjerumus menjadi pelaku kekerasan karena paparan konten digital yang bebas dan tidak terkontrol. Dunia maya yang awalnya digadang-gadang sebagai sarana pembelajaran dan ekspresi, justru menjelma menjadi ruang berbahaya bagi perkembangan psikologis anak dan remaja. (https://www.tempo.co/politik/menteri-pppa-media-sosial-jadi-sumber-pengaruh-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-1964664)
Tidak berhenti di sana, Menkominfo juga menyampaikan peringatan serius: penggunaan gawai yang berlebihan mengancam masa depan generasi bangsa. Anak-anak yang kecanduan gadget cenderung menjadi pasif, minim interaksi sosial, dan jauh dari produktivitas. Kebiasaan ini perlahan membentuk karakter generasi yang konsumtif, tidak tahan tantangan, dan miskin kepedulian sosial, jauh dari gambaran generasi emas yang diimpikan.
Di sinilah kontradiksi itu muncul. Di satu sisi, negara mencanangkan berbagai program untuk memperbaiki sistem dan membangun generasi unggul. Akan tetapi di sisi lain, akar masalah yang menyentuh langsung kehidupan keluarga dan pola asuh anak masih luput dari penanganan serius. Tanpa fondasi moral dan spiritual yang kuat, upaya inovasi layanan publik akan sulit menyentuh sisi terdalam dari persoalan generasi.
Mewujudkan generasi berkualitas bukan hanya soal inklusi dan partisipasi, tetapi juga tentang membangun ketahanan keluarga, kontrol sosial, dan jaminan perlindungan negara. Tanpa itu, cita-cita besar 2045 hanya akan menjadi jargon yang hampa.
Generasi dalam Ancaman Digital
Indonesia menatap optimis masa depan melalui visi Generasi Emas 2045, sebuah cita-cita besar untuk melahirkan generasi muda yang unggul, produktif, dan bermoral. Sejumlah program diluncurkan untuk mewujudkan visi ini, seperti yang dilakukan oleh Kementerian PANRB melalui Program Peningkatan Pelayanan Publik Berbasis Partisipasi TUNAS (PP Tunas) yang melibatkan kelompok rentan, termasuk anak dan perempuan, sebagai penilai layanan publik. Ini menunjukkan semangat inklusi dan kolaborasi yang positif dalam tata kelola negara.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kontradiksi yang mengkhawatirkan. Meskipun pemerintah berupaya memperbaiki sistem pelayanan, masalah mendasar dalam keluarga dan kehidupan anak-anak justru semakin kompleks akibat kemajuan dunia digital. Seperti disampaikan oleh Menteri PPPA, media sosial telah menjadi salah satu pemicu utama kekerasan terhadap anak dan perempuan, baik secara verbal, seksual, maupun psikologis. Tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban konten berbahaya, bahkan terlibat sebagai pelaku akibat lemahnya kontrol lingkungan dan keluarga.
Anak-anak kini lebih akrab dengan layar daripada buku, lebih aktif di dunia maya daripada dalam interaksi sosial nyata. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami penurunan fokus belajar, rendah empati, hingga kehilangan arah hidup. Ketika gawai menjadi “pengasuh utama”, peran orang tua dan sekolah melemah, dan inilah yang membuat anak-anak semakin rentan terhadap ancaman siber, kekerasan digital, bahkan kecanduan konten merusak.
Fakta-fakta ini menyiratkan bahwa kemajuan digital tidak selalu berjalan seiring dengan peningkatan kualitas generasi. Tanpa kebijakan yang menyentuh akar masalah, terutama pada aspek spiritual, moral, dan penguatan akidah dalam keluarga sebagai benteng pertama pendidikan anak, maka visi generasi emas hanya akan menjadi slogan. Kita butuh bukan hanya teknologi yang canggih, tetapi juga kesadaran kolektif untuk melindungi dan membimbing anak-anak agar tumbuh menjadi generasi tangguh yang siap menghadapi tantangan zaman, bukan dikalahkan olehnya.
Negara Abai
Maraknya kekerasan terhadap anak dan perempuan di ruang digital tak lagi bisa dipandang remeh. Kita tak bisa menutup mata terhadap akar persoalan yang jauh lebih mendasar, yakni rendahnya literasi digital, lemahnya iman dan akhlak generasi, serta absennya peran negara secara substantif dalam menjamin keselamatan anak-anak dari bahaya digital.
Fakta bahwa media sosial kini menjadi salah satu sumber utama kekerasan bukan hanya akibat dari kelengahan pengguna, melainkan juga buah dari sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Anak-anak tidak dibekali filter iman dalam menyikapi konten digital, dan orang tua pun banyak yang tidak mampu mendampingi karena terseret dalam arus kehidupan yang materialistik dan serba instan.
Lebih jauh lagi, arus digitalisasi sering kali dipandang sebagai peluang ekonomi. Banyak proyek dan program transformasi digital didorong dengan dalih pembangunan dan investasi. Sayangnya, aspek keselamatan dan perlindungan generasi justru tidak menjadi prioritas utama. Yang penting teknologi jalan, investasi masuk, dan ekonomi tumbuh, padahal ini bisa jadi pertumbuhan yang memakan korban diam-diam, yakni generasi yang rusak secara mental, moral, dan spiritual.
Tak dapat dimungkiri, inilah hasil dari penggunaan teknologi tanpa ilmu dan tanpa iman, buah pahit dari sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan nilai agama dari setiap aspek kehidupan, termasuk pendidikan, teknologi, dan regulasi sosial. Dalam sistem ini, kemajuan teknologi dijadikan tujuan, bukan sarana yang harus dikendalikan oleh syariat. Maka tak heran jika teknologi akhirnya justru menjadi senjata makan tuan yang membawa kerusakan moral, maraknya kekerasan digital, dan kehancuran mental generasi.
Bahaya lain yang tak kalah mengancam adalah penguasaan atas dunia siber oleh segelintir kekuatan global yang memiliki kepentingan ideologis dan ekonomi. Dunia digital bukan lagi ruang bebas netral, melainkan alat hegemoni yang digunakan untuk membentuk opini, melemahkan pertahanan suatu bangsa, bahkan mengintervensi arah kebijakan negara. Data warga negara menjadi komoditas, algoritma menjadi alat kendali, dan kedaulatan perlahan digerogoti dari dalam, tanpa letusan senjata.
Di tengah arus ini, negara yang menerapkan sistem kapitalisme hanya menjadi pasar dan konsumen teknologi, bukan pemilik sekaligus penentu arah. Perlindungan terhadap rakyat, khususnya anak-anak menjadi sekadar wacana, karena yang lebih dikejar adalah arus investasi, bukan kemaslahatan. Sudah saatnya kita sadar bahwa teknologi butuh kendali, bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga kerangka nilai yang benar. Dan hanya Islam, sebagai sistem hidup yang menyatukan ilmu, iman, dan aturan kehidupan, yang mampu menjawab tantangan ini secara menyeluruh.
Perspektif Negara Islam dalam Melindungi Generasi
Negara wajib membangun sistem teknologi digital yang mandiri, tidak bergantung pada infrastruktur asing yang rawan intervensi dan manipulasi. Ketergantungan pada teknologi luar hanya akan membuka celah penjajahan gaya baru (bukan dengan senjata) tetapi melalui kontrol data, algoritma, dan opini publik.
Negara yang berlandaskan Islam akan menyadari sepenuhnya bahwa penguasaan teknologi adalah bagian dari penjagaan kehormatan dan kedaulatan umat. Teknologi digital bukan hanya alat informasi dan komunikasi, tetapi juga alat pembentuk budaya dan moral masyarakat. Oleh karena itu, negara Islam akan memberikan arahan jelas dalam pengembangan teknologi, termasuk dunia siber, agar tidak digunakan secara liar untuk kepentingan materi semata atau menjadi sarana penyebaran kemaksiatan.
Negara akan memastikan bahwa ruang digital bersih dari pornografi, kekerasan, hoaks, dan propaganda yang merusak nilai dan akhlak generasi. Sejalan dengan firman Allah Swt. yang melarang menyebarkan kerusakan (fasad):
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berusaha di bumi untuk mengadakan kerusakan di dalamnya dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (TQS. Al-Baqarah: 205)
Semua pemanfaatan teknologi diarahkan untuk menjaga kemuliaan manusia, melindungi akal dan akhlaknya, serta mengantarkannya menuju keselamatan dunia dan akhirat. Teknologi harus digunakan sebagai alat kebaikan, bukan alat yang menyeret generasi pada kehancuran moral dan ancaman neraka. Ini menjadi tanggung jawab individu, keluarga, dan negara. Sebagaimana firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (TQS. At-Tahrim: 6)
Peran negara sebagai junnah (perisai) benar-benar diwujudkan dalam bentuk kebijakan tegas, sistem pendidikan yang membentuk kepribadian Islam, dan infrastruktur teknologi yang berdaulat serta dikuasai umat sendiri. Semua ini hanya mungkin diwujudkan jika negara berdiri atas dasar ideologi Islam, bukan kapitalisme yang menjadikan materi sebagai ukuran utama.
Khatimah
Kemajuan teknologi digital di era kapitalisme tanpa dibarengi iman dan sistem syar’i telah membawa dampak destruktif bagi generasi, keluarga, dan bangsa. Tanpa perlindungan kuat dari negara, ruang siber justru menjadi alat penjajahan ideologi dan moral. Hanya dalam sistem Islam, negara mampu menjadi pelindung (junnah) yang mengarahkan pengembangan teknologi demi menjaga kehormatan manusia, mewujudkan ruang digital yang sehat, serta memastikan keselamatan umat di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawab. []
Penulis. Miladiah al-Qibthiyah
(Aktivis Muslimah DIY)