catatan.co – Dalam upaya mengatasi persoalan sampah yang tak berkesudahan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda mengunjungi Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pada Selasa (17-12-2024). Kunjungan tersebut bermaksud untuk mendiskusikan program kerja serta permasalahan kota. Terlebih, saat lingkungan menjadi penunjang perkembangan Kota Samarinda.
“Pengelolaan sampah berkelanjutan ini penting dan sangat panjang menjadi bahan diskusi kami,” katanya. Ia menambahkan, sebenarnya Samarinda telah mendapatkan Adipura pada periode lalu. Namun, pialanya belum bisa didapatkan. Menurut Deni, permasalahan soal sampah ini tentunya perlu ditinjau dari akarnya, yaitu peran masyarakat menjadi penting. (https://mediakaltim.com/komisi-iii-dprd-samarinda-sambangi-kantor-dlh-soroti-persoalan-sampah-di-sungai-kota/)
Akibat Penerapan Kapitalisme
Tak dimungkiri, persoalan sampah menjadi problem yang mendunia saat ini. Hal ini erat kaitannya dengan konsumerisme sebagai buah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem inilah yang menjauhkan manusia dari akhlak Islam seperti membuang sampah sembarangan di sungai.
Baca juga: https://habarnusantara.com/kerahkan-potensi-pemuda-untuk-menjaga-bumi/
Penyelesaian persoalan sampah ini perlu andil negara, tidak bisa masyarakat diminta sadar sendiri tanpa ada kesadaran iman dan aturan tegas. Upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup dengan penyelesaian pada aspek hilir, seperti memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi. Namun, kita juga harus memperhatikan aspek hulu, yaitu penyebab banyaknya sampah makanan.
Jika penyebab banyaknya sampah makanan ini tidak dihentikan, maka sampahnya juga akan terus diproduksi. Tidak hanya itu, membludaknya persoalan sampah makanan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia. Kapitalisme meniscayakan perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target perolehan profit yang besar. Inovasi varian produk baru juga terus dilakukan, padahal nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar. Produk yang tidak laku terjual akan kedaluwarsa dan ditarik dari peredaran.
Lantas, produk makanan kedaluwarsa itu diapakan? Umumnya, dimusnahkan alias dibuang. Sungguh merupakan suatu pemandangan yang menyedihkan. Ketika di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kedaluwarsa, di tempat lain banyak persoalan anak Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi.
Tidak hanya makanan kedaluwarsa yang dibuang, makanan sisa yang masih layak makan juga dibuang karena tidak laku selama proses penjualan. Akar persoalannya adalah masyarakat yang sekuler dengan budaya hedonisme dan konsumtif. Di sisi lain, ada masyarakat yang kelaparan alias miskin
Persoalan Distribusi Pangan
Lebih miris lagi, mayoritas makanan yang terbuang adalah beras dan jagung. Padahal, keduanya bahan pangan pokok. Kita tahu pemerintah kerap melakukan impor beras bersamaan dengan momen panen raya di dalam negeri hingga akhirnya stok beras menumpuk di gudang. Akibat sedemikian lamanya di gudang, beras menjadi berkutu dan mengalami susut.
Di satu sisi, banyak penduduk miskin yang tidak bisa makan nasi/jagung karena tidak mampu membelinya. Namun, di sisi lain banyak beras/jagung yang terbuang sia-sia. Ini sungguh nyata mencerminkan buruknya distribusi pangan yang menjadi penyebab banyaknya sampah makanan.
Bagaimanapun, hal ini adalah konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme. Kapitalisme memang hanya mementingkan produksi dan abai pada distribusi. Akibatnya, bahan dan produk pangan banyak diproduksi, tetapi distribusinya tidak merata sehingga masalah kemiskinan tidak kunjung selesai.
Sebenarnya, persoalan distribusi ini berkaitan dengan tugas pemerintah. Pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengatur distribusi pangan agar tidak menumpuk di gudang. Untuk itu, pemerintah semestinya bisa mengatur distribusi agar beras dan jagung yang menumpuk di gudang tidak sampai berkutu. Sebaliknya, bisa terdistribusikan kepada rakyat miskin.
Pemerintah juga bisa membuat mekanisme agar makanan untuk balita yang tidak terserap oleh konsumen, bisa didistribusikan pada warga yang membutuhkan, sehingga persoalan stunting bisa diselesaikan. Namun, berbagai upaya distribusi tersebut tidak dilakukan karena dianggap akan merugikan industri, yakni merusak pasar. Para kapitalis lebih suka pangan tersebut dimusnahkan daripada dikonsumsi oleh warga miskin. Lebih menyedihkan lagi, pemerintah menutup mata dan tidak bersedia turut campur menangani kondisi ini.
Persoalan Sistemis
Faktor gaya hidup punya andil menghasilkan sampah makanan, karena pemahaman sekularisme yang merupakan asas kapitalisme diadopsi oleh masyarakat. Sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, telah memunculkan perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab terhadap makanan. Manusia saat ini seolah enteng saja membuang makanan sehingga sampahnya menumpuk. Terkait hal ini, pemerintah juga abai mendidik rakyatnya agar menghargai makanan dan tidak menyia-nyiakannya.
Sistem pendidikan juga hanya sibuk dengan dengan hal-hal yang bersifat akademis, hingga lalai membentuk manusia berkepribadian Islam yang salah satu wujudnya adalah menghargai makanan sebagai rezeki dari Allah Taala. Pemerintah juga abai dalam mengawasi industri agar tidak boros sumber daya. Penguasa hanya fokus pada upaya perolehan pajak yang besar dari industri dan menggenjot produksi demi tingginya PDB. Pada akhirnya, di balik angka pertumbuhan ekonomi dan PDB yang dibangga-banggakan penguasa, ada tumbal berupa banyaknya makanan yang dibuang.
Persoalan sampah bukanlah semata tentang gerakan daur ulang dan aksi sejenisnya, tetapi juga terkait dengan persepsi terhadap makanan, gaya hidup, sistem ekonomi, dan peran pemerintah. Dengan kata lain, untuk menyelesaikan persoalan sampah makanan membutuhkan solusi komprehensif dengan perubahan sistemis, yaitu dari sistem kapitalisme menuju sistem Islam.
Solusi Permasalahan Sampah Makanan
Islam memosisikan makanan sebagai rezeki dari Allah Swt. bagi manusia. Berkat adanya makanan, manusia bisa hidup dan beraktivitas dengan baik. Makanan juga penting untuk tumbuh kembang manusia dari janin hingga menjadi dewasa. Oleh karenanya, Allah Swt. memerintahkan kita untuk menghargai makanan dan tidak mencelanya.
Dari Abu Hurairah ra., “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.” (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)
Islam mengajarkan pada umatnya untuk bersikap zuhud yang salah satu wujudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Allah Swt. berfirman, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)
Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra [17]: 26—27)
Seorang muslim hendaknya senantiasa meyakini bahwa makanan yang ia miliki akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak pada hari akhir. Dengan begitu, ia tidak akan berlaku seenaknya dengan membuang-buang makanan.
Semua syariat terkait makanan tersebut tertuang dalam penerapan syariat Islam secara kafah. Islam akan menanamkan kepribadian Islam melalui kurikulum pendidikan, sehingga sederhana menjadi gaya hidup masyarakat. Masyarakat juga akan terpola untuk makan secukupnya dan tidak berlebih-lebihan.
Negara berperan penting untuk membentuk kebiasaan tersebut di masyarakat, agar mereka tidak menyia-nyiakan makanan. Juga dengan regulasi, misalnya keharusan menghabiskan makanan di rumah makan atau membungkusnya jika tersisa, sehingga perilaku membuang-buang makanan bisa ditekan dan jauh berkurang. Negara juga akan mengawasi industri agar tidak ada praktik membuang-buang makanan.
Tidak Ada Alasan Makanan Terbuang
Di dalam negara Islam, makanan diproduksi secukupnya sesuai dengan kebutuhan pasar yang dihitung secara cermat. Jika ada industri atau pelaku usaha yang terbukti membuang-buang makanan, negara akan memberikan sanksi tegas. Negara juga akan segera mendistribusikan bahan makanan pada warga yang membutuhkan hingga tidak ada lagi rakyat yang miskin dan tidak bisa makan. Pada saat yang sama, negara menyediakan dana yang besar dari baitulmal, untuk memastikan tiap-tiap rakyat bisa makan secara layak.
Dengan begitu, harapannya tidak ada orang yang kelaparan, juga tidak ada pangan yang menumpuk dan terbuang sia-sia. Negara juga akan memfasilitasi warga yang memiliki kelebihan makanan untuk menyedekahkannya pada orang-orang yang membutuhkan.
Praktik ini pernah terjadi pada masa Khilafah Utsmaniyah. Saat itu, khalifah memberikan teladan pada rakyatnya dengan tidak berlebih-lebihan dalam jamuan kenegaraan. Jauh pada masa sebelumnya, hal semacam ini juga pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika beliau menolak makan daging karena rakyatnya sedang mengalami krisis pangan.
Islam mampu menyelesaikan persoalan sampah, karena kebersihan sebagian dari iman. Dengan semua mekanisme syar’i ini, persoalan susut dan sisa makanan akan terselesaikan secara tuntas, Insyaallah.
Wallahualam bishawab.[]