Penggusuran Lahan dan Bukti Kelalaian Negara

Penggusuran Lahan Bukti Kelalaian Negara

Catatan.co Penggusuran Lahan dan Bukti Kelalaian Negara. Kasus penggusuran lahan terjadi kembali, sejumlah warga yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Warga Kebon Sayur menggelar demonstrasi di depan Gedung Balai Kota Jakarta pada Senin, 21 April 2025. Mereka datang dari wilayah Cengkareng, Kapuk, dan Jakarta Barat dengan membawa satu pesan, menolak penggusuran rumah warga.

Ketua Aliansi Perjuangan Warga Kebon Sayur, M. Andreas menuding bahwa penggusuran tersebut dilakukan atas perintah seseorang, yang mengeklaim memiliki tanah seluas 21,5 hektare berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 188/PK/Pdt/2019. Menurut Andreas, wilayah itu telah dihuni oleh sekitar 3.000 kepala keluarga selama lebih dari 20 tahun.

Andreas juga menuturkan terkait keresahan warga yang terusik dengan keberadaan alat berat dan truk pengangkut tanah yang masuk ke wilayah mereka tanpa izin resmi sejak awal Maret. (https://megapolitan.kompas.com/read/2025/04/21/13070521/warga-kebon-sayur-demo-di-balai-kota-jakarta-tuntut-hentikan-penggusuran)

Penggusuran Akibat Salah Tata Kelola

Penggusuran lahan seperti ini telah banyak memunculkan konflik, entah itu akibat kepentingan korporasi, oligarki, ataupun mafia tanah. Meskipun terkadang ada beberapa kasus serupa, di mana warga sebenarnya telah memiliki bukti berupa sertifikat tanah. Namun, dengan adanya surat sertifikat itu pun tidak lantas membuat kepemilikan tanah menjadi legal dan jauh dari gangguan.

Sejatinya, kasus konflik penggusuran lahan yang terjadi ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola hari ini. Dan sudah semestinya hal ini bisa menjadi bahan perenungan dan evaluasi bagi para pemimpin.

Kasus penggusuran lahan marak terjadi disebabkan karena kepemimpinan hari ini jauh dari fungsi utamanya sebagai pengurus rakyat. Di samping itu, adanya pengaturan kepemilikan lahan yang berbasis pada asas manfaat atau materi semata.

Tanah merupakan kebutuhan dasar bagi umat manusia. Di atasnya manusia membangun tempat tinggal dan berteduh di sana. Namun, sangat disayangkan bahwa hari ini tata kelola pertanahan dalam sistem demokrasi kapitalisme hanya berpihak kepada para pemilik modal semata. Lalu apa buktinya? Hal tersebut bisa kita lihat bagaimana hari ini banyaknya aset tanah yang dikuasai oleh swasta, sehingga membuat rakyat kesusahan untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak akibat tidak memiliki tanah.

Dampak Dem0kr4s1

Negara yang menerapkan sistem demokrasi kapitalisme hanya berperan sebagai regulator atau pembuat kebijakan yang justru membuka jalan atau memudahkan bagi para mafia tanah dan swasta untuk mempermainkan kepemilikan tanah.

Hal ini jelas sangat jauh dari  gambaran profil pemimpin dalam Islam yang menempatkan posisi dan tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan umat.

Sungguh, masyarakat yang hidup dalam sistem demokrasi kapitalisme ini terus berada di bawah bayang-bayang kerakusan para pemilik modal dan penguasa. Semua ini sungguh akan berbeda ketika kepemilikan lahan ditangani dengan sistem Islam.

Islam memandang bahwa tanah merupakan bagian dari segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi, yang hakikatnya adalah milik Allah taala sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut.

وَلِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ

Artinya: “Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan hanya kepada Allah kembalinya seluruh makhluk.” (QS. An-Nur ayat 42)

Syariat Mengatur Kepemilikan Lahan

Meskipun Allah taala pemilik hakiki. Namun, Allah mensyariatkan kepemilikan yang di antaranya boleh dimiliki oleh manusia. Cara yang dapat ditempuh untuk memiliki lahan yaitu sebagai berikut:

1. Jual beli

2. Waris

3. Hibah

4. Ihya’ul mawat yang artinya menghidupkan tanah mati.

5. Tahjir yaitu membuat batas pada tanah mati.

6. Iqtha yaitu pemberian dari negara kepada rakyat.

Dalam sistem pemerintahan Islam yakni Daulah Islamiah, pemimpin atau Khalifah tidak boleh sembarangan dalam menetapkan kebijakan, misal sesuai kepentingan individu ataupun untuk kelompoknya sendiri.

Pemimpin ketika akan membuat dan menetapkan kebijakan harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan dalam menjalankan amanahnya sebagai pengurus rakyat, pemimpin di dalam Islam akan memprioritaskan dan mendahulukan kepentingan dan kebutuhan rakyatnya sehingga pemimpin dalam Islam akan memastikan bahwa kebutuhan rakyatnya seperti sandang, pangan, dan papan, termasuk juga pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan dirasakan oleh rakyatnya dan bahkan semua itu bisa diperoleh dengan mudah dan gratis.

Khatimah

Di dalam Islam, negara akan memperhatikan kepemilikan harta tiap individu termasuk tanah. Di sistem kepemimpinan Islam, negara tidak boleh merampas ataupun menggusur lahan rakyat dengan jalan memaksa dan tanpa rida pemilik tanah. Hal ini sesuai dengan hadis dari Rasulullah ﷺ.

Barang siapa mengambil sejengkal tanah bumi yang bukan haknya, niscaya ditenggelamkan ia pada hari kiamat sampai ke dalam tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari)

Dalam sistem Islam, negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum jika pemilik tanah tersebut rida. Sebaliknya, jika pemilik tanah tidak rida maka negara tidak boleh sewenang-wenang menggusur dengan jalan paksaan.

Hanya saja, semua ini hanya dapat terlaksana ketika Islam dijadikan sebagai aturan yang mengatur kehidupan kita. Tentu dengan diterapkannya aturan Islam, maka kepemimpinan yang ada akan memandang bahwa amanah kepemimpinan itu sebagai amanah besar, yang akan dihisab di akhirat kelak.

Wallahu a’lam bishawab. []

Penulis. Asih Lestiani (Aktivis Muslimah)