Catatan.co – Tempat Hiburan Malam (THM) Berizin atau Tidak, Tak Layak Hidup di Kota Beriman. Di tengah klaim sebagai Kota Beriman dan proyek Kota Layak Anak, Balikpapan justru dihadapkan pada ironi: hadirnya Tempat Hiburan Malam (THM) bernama Helix yang beroperasi tanpa izin resmi. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Balikpapan pun resmi menghentikan sementara operasional dan menyegel TMH Helix yang beroperasi tanpa izin lengkap.
Tindakan tegas ini diambil berdasarkan perintah langsung dari Wali Kota Balikpapan. Sebelum penyegelan dilakukan, Satpol PP terlebih dahulu memanggil pihak manajemen Helix, yakni Hendra, untuk dimintai keterangan. Pihak manajemen juga telah menandatangani surat pernyataan yang memberikan waktu tenggang tujuh hari untuk melengkapi dokumen perizinan. Namun, hingga batas waktu tersebut, Helix tetap beroperasi.
Telah diketahui, dari sistem OSS, Helix telah mengantongi beberapa izin. Namun, untuk KBLI 93231 dengan NIB kategori klub malam, statusnya masih belum terverifikasi alias belum terbit. Sementara untuk izin restoran dan rumah makan sudah lengkap.
Pihak Satpol PP menegaskan, selama dokumen perizinan belum lengkap, Helix tidak diperkenankan beroperasi. Namun, apabila manajemen segera mengurus dan melengkapi dokumen yang diperlukan dalam waktu tiga hari ke depan, maka penyegelan dapat dicabut. ”Kami terbuka terhadap investasi, tapi semua harus patuh pada aturan. Mari sama-sama kooperatif,” ujar Satpol PP.
(https://beritakaltim.co/2025/06/19/tak-miliki-izin-lengkap-satpol-pp-balikpapan-segel-tempat-hiburan-malam-helix/)
Tak Layak
Jika dicermati lebih jauh, hadirnya THM seperti Helix bukan sekadar soal izin, melainkan menyangkut arah moral dan identitas kota yang telah menyematkan dirinya sebagai “Kota Beriman.” Dengan atau tanpa izin, sejatinya THM tetap menjadi tempat yang rawan memfasilitasi kemaksiatan, menormalisasi gaya hidup malam yang cenderung hedon, serta tidak mencerminkan masyarakat dengan nilai-nilai spiritualitas Islam.
Pembangunan THM seperti Helix juga tidak dapat dipisahkan dari sistem sekularisme yang menghiasi negeri ini. Sekularisme (pemisahan aturan agama dalam kehidupan), telah merasuki kebijakan tata kelola kota. Satu sisi pemerintah semangat mengampanyekan nilai spiritualitas dan program moral seperti KLA (Kota Layak Anak), tetapi di sisi lain malah membuka celah industri hiburan malam yang cenderung mengabaikan nilai keimanan dan keselamatan generasi dari perilaku maksiat.
Ironisnya, di negeri yang memuja paradigma kapitalisme, kepentingan ekonomi—seperti penerimaan pajak dari THM yang terkadang menjadi alasan perizinan disetujui. Pada akhirnya, kita melihat bagaimana materialisme sangat dipuja sementara spiritualisme hanya menjadi slogan. Tak benar-benar diamalkan. Malam, yang semestinya dalam tradisi Islam identik dengan waktu istirahat, muhasabah, qiyamulail, justru dialihkan menjadi ladang hiburan duniawi yang melalaikan dan menambah dosa.
Padahal, dalam Islam hiburan adalah mubah yang semestinya diarahkan untuk kebaikan, syiar Islam, kesyukuran, dan ketenangan hati. Hiburan pun juga diawasi untuk tidak mengarah pada maksiat dan kerusakan moral. Lantas, akan sangat keliru jika perdebatan tentang THM hanya terhenti pada soal izin atau tidak izin.
Akar permasalahannya sungguh jauh lebih dalam, yaitu bagaimana arah kebijakan sebuah kota bisa mengamalkan nilai-nilai yang dijunjungnya. Kota yang dijuluki beriman, mestinya tidak sekadar label. Akan tetapi, harus benar-benar melindungi warganya dari kemaksiatan, bukan malah memfasilitasinya.
Demi menjaga moral generasi dan mewujudkan slogan Kota Beriman dan Kota Layak Anak, sudah saatnya kebijakan tidak lagi bersifat permisif terhadap keberadaan THM, melainkan harus berani menolak tegas secara prinsip.
Hiburan dalam Pandangan Islam
Islam memandang bahwa tempat hiburan malam seperti yang banyak kita temui hari ini, sejatinya tidak memiliki tempat dalam tatanan masyarakat Islam yang dilandasi iman dan takwa. Hiburan dalam Islam bukanlah hal yang diharamkan. Namun, jenis dan tujuannya harus jelas, yaitu harus membawa ketenangan, jauh dari maksiat, dan menguatkan jiwa serta akhlak.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak pernah membangun tempat yang memfasilitasi kelalaian atau kemewahan duniawi yang mengundang dosa dan fitnah. Sebaliknya, beliau malah lebih dulu membangun masjid, kuttab (lembaga pendidikan dasar Islam), dan pasar yang jujur—yang semuanya ini menjadi pusat peradaban uang bernilai spiritual, intelektual, dan sosial.
Islam membolehkan permainan atau hiburan yang sifatnya mubah, selama tidak membawa pada kemaksiatan, tidak mengandung unsur syirik, kekerasan, pornografi, atau membuat lalai dari kewajiban utama.
Oleh karenanya, sistem Islam akan memfilter dan membatasi hiburan yang beredar di tengah masyarakat, bukan berdasarkan selera pasar seperti dalam sistem sekuler, tetapi berdasarkan nilai halal-haram yang menjaga kehormatan generasi.
Buktinya, Rasulullah mengajarkan agar umatnya melatih aktivitas fisik untuk kesehatan dan keterampilan hidup seperti berenang, memanah, dan menunggang kuda. (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa Islam mengarahkan aktivitas rekreatif untuk membentuk ketangguhan, bukan sekedar kesenangan semata.
Islam juga menegaskan bahwa sumber pendapatan dalam suatu negeri harus halal, bersih, dan tidak menodai nilai-nilai agama dan akhlak. Negara Islam tidak akan menjadikan industri-industri hiburan menjadi sumber pendapatan karena berpotensi masuknya pemikiran yang sekuler dan liberal. Investasi dalam Islam tidak dibebaskan, melainkan hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang sesuai dengan hukum syariat.
Allah Taala berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (TQS Al-Maidah ayat 2)
Begitu pun pemimpin dalam Islam berkarakter junnah (pelindung) tentu akan melarang atau menutup tempat-tempat hiburan yang melalaikan demi melindungi masyarakatnya dari rusaknya akal, kehormatan, dan moral.
Dengan demikian, membangun peradaban Islam bukan diawali dengan legalisasi hiburan malam yang jelas membuat lalai masyarakat dan berdosa besar. Akan tetapi, dengan pembangunan akal dan ruh masyarakat—dengan pendidikan, keteladanan moral, memfasilitasi ruang-ruang kebaikan yang membimbing umat, bukan menjerumuskannya. Wallahu ‘alam bis shawab. []
Penulis: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag (Aktivis Dakwah)