catatan.co – Memahami Al-Qur’an Tidak Cukup dengan Seremonial. Laksanakan arahan Bupati Bogor, Rudy Susmanto, Wakil Bupati Kabupaten, Jaro Ade lakukan peringatan Nuzulul Qur’an yang diselenggarakan di Masjid Agung Nurul Faizin, Cibinong, pada Minggu (14/3/25). Acara yang mengusung tema “Peran Al-Quran dalam Membangun Masyarakat Berakhlak Mulia” tersebut berlangsung khidmat dengan kehadiran berbagai tokoh dan masyarakat setempat.
(https://www.kabarindoraya.com/laksanakan-arahan-bupati-wabup-bogor-jaro-ade-pimpin-peringatan-nuzulul-quran-tekankan-pentingnya-akhlak-mulia)
Adapun di Kabupaten Bandung, Bupati Dadang Supriatna punya cara unik dan menarik dalam mensyiarkan Ramadan sekaligus memperingati Nuzulul Qur’an pada 17 Ramadan 1446 H, yakni melalui acara yang dikemas dalam bentuk lomba cerdas cermat pemahaman Al-Qur’an. Pada perhelatan tersebut, Bupati Kab. Bandung mengundang sejumlah ormas untuk beradu kepintaran dalam menjawab berbagai pertanyaan seputar isi kandungan Al-Qur’an. Adapun ormas yang diundang pada acara tersebut adalah Pemuda Pancasila, GMBI, BBC dan FKPPI.
(https://bandungraya.net/peringati-nuzulul-quran-bupati-bandung-undang-ormas-beradu-pintar-alquran.html)
Makna Memahami Al-Qur’an
Apa sebetulnya makna memahami Al-Qur’an?
Berkaitan kedua agenda di atas, yang merupakan agenda besar yang diselenggarakan oleh para kepala daerah perlu kita cermati, apa sebetulnya makna memahami Al-Qur’an? Apakah hanya sekadar hafal dalil kemudian mengetahui terjemahnya sudah bisa dikatakan memahami?
Memahami Al-Qur’an pada hakikatnya adalah mengetahui bacaan dan artinya, juga mengamalkan setiap apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Jadi jelas, dalam hal ini tidak cukup pintar membaca serta hafal dalilnya di luar kepala. Begitu juga hanya mengamalkan sebagian kecil dari kandungannya (misalnya dalam perkara akhlak saja), tentu hal tersebut tidaklah bisa disebut memahami Al-Qur’an.
Hanya Seremonial
Sistem demokrasi kapitalisme yang berakidah sekularisme telah menjadikan akal manusia sebagai sumber aturan dan menjauhkan Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan. Padahal, manusia adalah makhluk yang lemah sehingga berpotensi menimbulkan pertentangan dan berbagai permasalahan. Sistem ini hanya menjadikan Al-Qur’an sebagian bacaan, hafalan, dan mengamalkan sebagian kecil saja. Padahal Al-Qur’an seharusnya menjadi landasan setiap individu, masyarakat, dan negara dalam setiap aspek kehidupan.
Hari ini, individu yang berpegang pada Al-Qur’an dan menyerukan untuk kembali kepada Al-Qur’an justru dianggap radikal. Dalam sistem ini, prinsip kedaulatan di tangan rakyat menjadikan manusia sebagai penentu hukum berdasar hawa nafsu dan kepentingannya dianggap bisa membawa kemanfaatan. Ketika pun Al-Qur’an dibahas mengenai pemahamannya, itu hanya seremonial semata, seperti dalam peringatan Nuzulul Qur’an. Namun, pada saat menjalani kehidupan, Al-Qur’an hanya dimaknai sebagai kitab suci yang diamalkan sebagian kecil isinya dan sebagian besar lainnya dicampakkan. Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Al-Qur’an Pedoman Hidup
Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi setiap muslim. Berpegang pada Al-Qur’an merupakan konsekuensi keimanan dan harusnya terwujud pada diri setiap muslim. Apalagi jika ingin membangun peradaban manusia yang mulia, Al-Qur’an harus menjadi asas kehidupan. Sayangnya, hari ini Al-Qur’an diabaikan, meski peringatan Nuzulul Qur’an setiap tahun diadakan, bahkan oleh negara.
Sejatinya, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (hudalil muttaqin). Dalam QS. Al-Isra’ ayat 9 Allah Swt. berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengajarkan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
Merujuk dalil tersebut, umat harus menyadari kewajiban berpegang pada Al-Qur’an secara keseluruhan dan memperjuangkannya sebagai pedoman hidup dalam semua aspek kehidupan. Dibutuhkan dakwah kepada umat yang dilakukan oleh jemaah dakwah ideologis untuk membangun kesadaran umat akan kewajiban menerapkan Al-Qur’an secara kafah. Tidak hanya bagi individu, tetapi juga oleh masyarakat dan negara.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Penulis. Enung Nurhayati
Aktivis Muslimah