catatan.co – Banjir menggenangi beberapa bagian wilayah di Kota Samarinda setelah dilanda hujan selama beberapa hari. Ratusan rumah, tempat usaha, dan fasilitas umum seperti jalan, masjid, sekolahan pun terendam banjir, sehingga banyak sekolah yang diliburkan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam hal ini turut andil untuk melakukan peninjauan serta memberikan bantuan kepada warga yang terdampak banjir, salah satunya di Kawasan Bengkuring, Sempaja Utara, Kota Samarinda Kamis 30 Januari 2025.
Ketua Umum HMI Cabang Samarinda, Syahril Saili, mengatakan banjir yang melanda Kota Samarinda bukan akibat dari guyuran hujan yang deras, seperti melupakan ulah manusia yang menjadi penyebab banjir di Kota Samarinda. Narasi seperti itu hendaknya dibuang jauh agar empati terbangun secara benar. “Banjir ini sudah sering terjadi ketika hujan dengan intensitas tinggi mengguyur, namun kita tidak bisa menyalahkan anomali iklim yang memang pasti terjadi”, ucap Syahril.
Syahril yang merupakan Mantan Ketua Umum BEM FPPIK Universitas Mulawarman tersebut menekankan bahwa, perlu ada penanganan serius dari permasalahan yang ada. Jadi dapat diketahui bahwa akar masalahnya aliran air tidak berjalan dengan normal dikarenakan sedimentasi. Hal ini mestinya menjadi perhatian serius, “Padahal, kalau mau jujur, tangan-tangan manusialah yang menjadi penyebab banjir itu. Sederhana saja logikanya, bukankah hujan lebat dulu pun sudah terjadi, kenapa belakangan ini baru terjadi banjir besar?” tuturnya.
Di sisi lain, Syahril memberikan apresiasi kepada pemerintah Kota Samarinda dalam proses pengendalian banjir yang sudah dilakukan. Syahril menilai perlu ada perbaikan secara mendasar. Selain dari permasalahan sedimentasi yang menghambat air mengalir, masalah lainnya adalah sampah.
Melihat faktor alam dijadikan pemicu dan faktor manusia terkesan disembunyikan, Syahril menegaskan hujan lebat bukanlah pemicu banjir. Bahkan, kata dia, bukan pula penyebab banjir. “Mau ditegaskan di sini, degradasi hutan ataupun degradasi lahan menjadi penyebab banjir tersebut, Sejauh ini siapa pun sepakat bahwa banjir merupakan air permukaan yang tidak bisa terserap oleh tanah yang bergerak dari kawasan tinggi menuju ke tempat lebih rendah. Gundulnya lahan atau ketidaktepatan peruntukan lahanlah yang menjadikan penyebab banjir.”
(https://kaltim.tribunnews.com/2025/01/31/hujan-bukan-penyebab-banjir-di-ibu-kota-kaltim-hmi-samarinda-beber-faktor-pendorongnya)
Hujan Bukan Musibah
Hujan sejatinya adalah berkah alam yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan memenuhi kebutuhan air bagi kehidupan. Hujan yang seharusnya membawa manfaat, tetapi belakangan ini hujan justru sering dianggap sebagai musibah salah satunya karena menimbulkan banjir. Lantas, apakah ini salah alam atau manusia?
Aktivitas manusia berpengaruh besar terhadap perubahan iklim yang ekstrem saat ini, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan peningkatan suhu bumi. Suhu bumi yang tinggi menjadikan air menguap ke atmosfer dan membentuk awan, lalu jatuh kembali ke bumi sebagai hujan. Jika curah hujan tinggi dan tidak ada lahan yang menampung debit air, akhirnya akan meluap dan mengakibatkan banjir. Jika melihat dari sisi ini, hujan hanyalah fenomena alam yang terjadi tanpa ada niatan untuk mendatangkan bencana.
Berkaca kondisi saat ini, hutan yang berfungsi sebagai penyerap air alami untuk mencegah banjir kini makin berkurang akibat penebangan liar dan adanya alih fungsi lahan yang tidak terkontrol. Kota-kota berkembang pesat tanpa adanya sistem drainase yang memadai. Ruang terbuka hijau makin sedikit, dibandingkan lahan beton dan aspal yang menghambat infiltrasi air ke dalam tanah. Ditambah adanya kebiasaan masyarakat yang membuang sampah sembarangan ikut memperparah kondisi ini. Alhasil, banjir pun tidak terelakkan.
Pada dasarnya, hujan yang berlebihan tidak serta-merta menyebabkan bencana jika lingkungan dikelola dengan baik. Namun, justru akan mendatangkan musibah ketika daya serap tanah berkurang akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA), tata kelola lahan yang buruk, serta kebijakan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Kapitalisme dan Eksploitasi Alam
Dalam sistem kapitalisme, alam sering kali dipandang sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi demi keuntungan ekonomi tanpa batasan yang jelas. Kenyataannya keuntungan jangka pendek ini justru mengorbankan keseimbangan alam dan mengabaikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan manusia dan lingkungan.
Diliput dari situs berita lingkungan Mongabay Indonesia, Samarinda ibu kota Kalimantan Timur saat ini kesulitan mencari lahan terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai hutan kota. Padahal, menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, bahwa sebuah kewajiban mengembangkan hutan kota sebesar 10% dari luas wilayahnya kota. Alih fungsi lahan di Samarinda menjadi tambang batu bara mengakibatkan hutan di Kota Samarinda tinggal 0.9% dari total luasan kota.
Berakar dari keserakahan manusia, alih fungsi lahan kerap terjadi tatkala materi yang menjadi orientasi utama oleh para pengambil kebijakan. Faktanya, hutan-hutan digunduli untuk kepentingan industri perkebunan seperti kebun sawit, tambang-tambang yang dikuras habis tanpa memikirkan keberlanjutan, dan daerah-daerah resapan air yang beralih fungsi menjadi perumahan. Semua ini dilakukan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi, meskipun dampaknya sangat merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Di sistem ini, bukan rahasia lagi mengenai intervensi besar para pemodal di lingkar kekuasaan. Banyak kebijakan lingkungan yang lemah atau bahkan dibiarkan karena kepentingan ekonomi dan politik. Bagi yang memiliki modal besar bisa mendapatkan akses tak terbatas untuk mengeruk kekayaan alam, sementara masyarakat sekitar justru yang menderita akibat pencemaran lingkungan, seperti banjir.
Kembali kepada Syariat Islam
Islam mengajarkan bahwa alam adalah amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab, bukan dieksploitasi tanpa batas. Dalam sistem Islam, eksploitasi SDA tidak boleh dilakukan secara serakah dan merugikan rakyat. Negara bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam dengan adil dan memastikan bahwa hasilnya dinikmati oleh seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir elite.
Musibah yang terjadi merupakan bentuk ujian dan pengingat bagi manusia. Oleh karena itu, penting untuk bermuhasabah dan bertobat dengan berupaya menegakkan syariat Islam dalam kehidupan. Musibah yang terjadi bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga bisa menjadi bentuk teguran dari Allah atas berbagai kemaksiatan yang dilakukan manusia.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya sendiri.” (QS. Al-A’raf: 96)
Islam mengajarkan turunnya hujan bentuk turunnya berkah, maka dianjurkan berdoa kepada Allah ketika hujan turun. Doa khusus saat turun hujan, “Allahumma shayyiban nafi’an”(Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat). Dengan berdoa, kita menyerahkan segala urusan kepada Allah dan berharap agar hujan yang turun membawa keberkahan, bukan musibah.
Islam memiliki sistem kepemimpinan yang berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Negara harus dikelola oleh pemimpin untuk kemaslahatan bersama dan memastikan pembangunan dilakukan dengan cara yang tidak merusak lingkungan, seperti membangun kota dengan perencanaan yang matang, memperhitungkan risiko banjir dan dampak perubahan alam, menyediakan sistem drainase yang baik dan daerah resapan air.
Melarang penebangan hutan secara liar dan mengelola sumber daya alam dengan adil. Menanamkan nilai-nilai Islam tentang menjaga alam sebagai amanah dari Allah. Mendorong gaya hidup yang tidak merusak ekosistem, seperti mengelola sampah dengan baik.
Pemimpin adalah pelayan rakyat yang bertanggung jawab di hadapan Allah atas kesejahteraan umat. Para pemimpin muslim menunjukkan kepedulian besar terhadap rakyatnya ketika bencana terjadi. Mereka tidak sekadar mengandalkan kebijakan teknis, tetapi juga berpegang pada syariat Islam dalam mengatasinya. Seperti, Khalifah Umar bin Khattab pernah mengalami masa kekeringan panjang di Madinah. Beliau tidak hanya memerintahkan pembangunan sistem irigasi, tetapi juga berdoa dan berpuasa bersama rakyatnya sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah.
Hujan bukanlah musibah, melainkan bagian dari siklus alam yang semestinya menjadi berkah. Yang menjadikannya bencana adalah tangan manusia yang serakah dan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada keuntungan semata. Oleh karena itu, solusi yang diperlukan bukan sekadar teknis, tetapi juga perubahan sistemik yang mengatur tata kelola lingkungan dan SDA sesuai dengan syariat Islam.
Dengan demikian, kita dapat menjaga keseimbangan alam dan mencegah bencana yang sebenarnya bisa dihindari. Jika syariat Islam ditegakkan secara menyeluruh, maka keberkahan akan kembali, bencana dapat diminimalisasi, dan umat manusia dapat hidup dalam ketenangan serta kesejahteraan yang hakiki.
Wallahu a’lam bishawab. []