catatan.co – Perayaan Imlek telah berlalu. Banyak yang ikut merayakan selain dari agama Khonghucu, tak terkecuali umat Islam. Hal ini dianggap sebagai bukti toleransi untuk menjaga kebersamaan dan kedamaian antarumat beragama.
Dilansir dari Jawapos.com, Politikus PDI Perjuangan Angie Natesha Goenadi mengatakan, perayaan Tahun Baru Imlek 2025 menjadi momentum bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memperkuat persaudaraan dan toleransi antarumat beragama. Menurutnya, semangat kebersamaan yang hadir dalam tradisi Imlek mencerminkan nilai-nilai harmoni yang harus terus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Imlek tidak hanya dirayakan oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga menjadi bagian dari keberagaman budaya Indonesia yang kaya. Perayaan ini menghadirkan momen refleksi, harapan baru, serta semangat berbagi dan saling menghormati,” kata Angie kepada wartawan.
Angie menyebut, toleransi dalam perayaan Imlek bukan hanya perayaan budaya, tetapi juga simbol persatuan dalam keberagaman. “Mari kita jadikan momentum ini untuk mempererat persaudaraan dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan,” ucap Anggota DPRD Kabupaten Bandung itu, pada Rabu (29-1-2025).
https://www.jawapos.com/politik/015583086/politikus-pdip-harap-perayaan-imlek-2025-jadi-momentum-kebersamaan-dan-toleransi-beragama
Tak Boleh Kebablasan
Solidaritas antarumat beragama masih dianggap perlu dirayakan bersama oleh seluruh elemen masyarakat, yaitu dengan merayakan Imlek bersama sebagai momen mempererat tali persaudaraan dan bentuk penjagaan toleransi. Perbedaan keyakinan dan klaim pembenaran di antara para pemeluk agama memang bisa saja memunculkan sikap intoleransi yang bisa mengarah pada konflik (benturan) antarumat beragama. Namun, Islam mengajarkan toleransi sesama antarumat beragama, tetapi batasan toleransi dalam Islam tidak boleh kebablasan.
Jangan sampai hal ini menjadi pembenaran dengan dalih ‘toleransi dalam keragaman agama’. Apalagi dijadikan tameng untuk makin mengaruskan moderasi beragama. Jika hal ini terjadi, akan banyak kerancuan dalam beragama. Seolah-olah semua agama boleh ikut merayakan hari besar setiap agama lain, bahkan membolehkan beribadah di tempat ibadah umat agama lainnya.
Toleransi dalam Islam
Islam mengakui keragamanan (pluralitas) di tengah masyarakat. Namun, Islam menolak dengan tegas pluralisme dan haram hukumnya. Sepertinya halnya Islam membolehkan etnis Yahudi tetap ada di bumi Palestina, tetapi bukan dalam bentuk entitas maupun negara.
Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. Tidak ada paksaan bagi orang nonmuslim untuk memeluk agama Islam.
Toleransi dalam Islam tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 256, “Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, sungguh ia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Allah juga berfirman dalam QS Al-Kafirun ayat 6, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Toleransi juga pernah ditunjukkan Sultan Muhammad Al-Fatih tatkala menaklukkan Konstantinopel. Saat ia memasuki Hagia Sophia, ia menemui umat Kristen yang tidak ikut berperang dan sedang bersembunyi di dalam gereja. Kala itu, ia mendekati wanita dan anak-anak yang sedang ketakutan. “Jangan takut, kita adalah satu bangsa, satu tanah, dan satu nasib. Kalian bebas menjaga agama kalian,” ujarnya dengan ramah dan disambut gembira umat kristiani.
Demikianlah, penerapan toleransi yang hakiki menurut Islam. Islam memiliki pemahaman yang terang tentang toleransi. Seharusnya umat Islam tidak tergelincir kepada toleransi yang kebablasan. Sejarah panjang umat Islam dalam kepemimpinannya telah membuktikan pada dunia bahwa Islam mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan, keteraturan, hingga kerukunan secara hakiki.
Wallahu a’lam bi shawab. []