Catatan.co – Ketersediaan Sekolah Minim: Layanan Pendidikan Belum Optimal. Ribuan lulusan SD di Balikpapan tahun ini menghadapi tantangan besar, yakni tidak tersedianya cukup kursi di sekolah negeri. Dari sekitar 16 ribu siswa yang lulus, hanya 6 ribu yang akan tertampung di SMP negeri. Sisanya, sekitar 9 ribu anak terpaksa mencari sekolah swasta atau alternatif lain.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Balikpapan, Aminuddin, menyebut situasi ini sebagai cerminan darurat akses pendidikan yang perlu ditangani secara serius dan berkelanjutan.
Sebagai langkah awal, Aminuddin mengusulkan adanya peningkatan kualitas pendidikan di sekolah swasta, agar para siswa tetap mendapat layanan pendidikan yang setara.
Tak hanya pemerintah, Aminuddin juga menekankan pentingnya keterlibatan sektor swasta. Dengan banyaknya perusahaan besar yang beroperasi di Balikpapan, ia menilai potensi CSR sangat besar untuk mendukung pembangunan fasilitas pendidikan seperti ruang kelas dan laboratorium. (https://www.balpos.com/utama/1795877821/krisis-kursi-smp-negeri-di-balikpapan-komisi-iv-dorong-kolaborasi-pemerintah-dan-swasta)
Ketersediaan Pendidikan Adalah Kebutuhan
Pendidikan adalah kebutuhan pokok masyarakat. Seluruh warga negara berhak mendapatkan akses pendidikan murah dan berkualitas. Hal ini lantaran pendidikan dapat membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.
Maka dari itu, negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada pelayanan seluruh warga. Terlebih lagi, berburu sekolah negeri yang gratis menjadi incaran semua warga, bukan hanya yang miskin. Sudah seharusnya kebijakan negara memudahkan semua warga dalam mengakses pendidikan.
Jika kita melihat hari ini, sebagian masyarakat ada yang berani memalsukan dokumen, seperti kartu keluarga maupun keterangan domisili demi bisa masuk sekolah negeri. Hal ini menunjukan belum optimalnya akses pendidikan yang memudahkan masyarakat. Sehingga banyak yang tidak tertampung di sekolah negeri.
Jika demikian, akankah pendidikan berkeadilan dapat terpenuhi? Apalagi ketika ada wacana memberdayakan sekolah swasta, hal ini secara tidak langsung malah menyuburkan konsep swastanisasi (komersialisasi) lembaga pendidikan.
Walaupun pihak sekolah tidak memungut biaya bagi siswa miskin yang sudah dibiayai pemerintah, bagaimanapun, sekolah swasta berbeda dengan negeri. Mengandalkan peran swasta jelas bukan solusi tuntas. Negara seharusnya bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat.
Sungguh ironis, ketika negara hari ini tidak mampu mendirikan sejumlah sekolah negeri sesuai kebutuhan. Bahkan, hingga meminta bantuan sekolah swasta agar menampung warga miskin yang dibiayai negara.
Faktanya, lembaga pendidikan swasta dalam sistem kapitalisme saat ini hanya ada untuk mendulang keuntungan semata. Semua pihak yang terlibat hanya menjadikan layanan pendidikan sebagai alat pengeruk keuntungan atau medan bisnis.
Kondisi ini tentu membahayakan karena membuat pendidikan mahal serta berpotensi melepaskan tanggung jawab negara dalam pendidikan. Padahal, salah satu bentuk kehadiran negara adalah menjamin biaya terjangkau bagi semua peserta didik. Inilah bukti rusaknya sistem kapitalisme yang berlaku di negeri ini.
Tata Kelola Ekonomi Kapitalistik
Kenyataannya, tata kelola anggaran yang kapitalistik telah menghambat negara untuk menyiapkan ketersediaan dan mendirikan sejumlah sekolah negeri sesuai kebutuhan negara. Walaupun anggaran pendidikan terus ditambah, tetapi tidak juga memenuhi kebutuhan.
Anggaran terbatas membuat negara tidak berdaya, baik untuk memberi bantuan kepada semua siswa miskin maupun untuk membangun sekolah negeri. Jangankan untuk membangun yang baru, memperbaiki yang rusak saja selama ini masih sulit. Ini semua tidak lepas dari tata kelola ekonomi negara yang kapitalistik.
Minimnya akses lanjutan pendidikan menggambarkan pendidikan dikesampingkan oleh penguasa saat ini. Wajar, sistem kehidupan kapitalisme memang membuat negara tidak menjadi penjamin terpenuhi pendidikan rakyat. Bahkan, dalam menyiapkan fasilitas pendidikan saja pun negara gelagapan.
Negara kapitalisme justru menginginkan keterlibatan pihak lain untuk ikut serta dalam menyediakan pendidikan. Padahal, terpenuhinya pendidikan menjadi tanggung jawab utama negara, bukan swasta apalagi perusahaan.
Sistem kehidupan kapitalistik membuat dana pendidikan terbatas sehingga minim sarana prasarana dan ketersediaan sekolah. Padahal penting diperhatikan kualitas guru, kualitas pelajar, dan kurikulum demi terbentuknya generasi unggulan. Hal ini sungguh menunjukan
tidak hanya darurat akses pendidikan tetapi juga gambaran kompleks dan buramnya pendidikan saat ini.
Sistem Islam Menyediakan Sekolah Murah
Masalah keadilan mendapatkan layanan pendidikan, bukan semata memberi peluang kepada warga miskin untuk mendapatkan sekolah. Persoalan sesungguhnya adalah pemenuhan hak pendidikan murah dan berkualitas bagi seluruh warga. Artinya, pemerintah tidak boleh membiarkan rakyat membayar mahal untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Berbeda dengan kebijakan di dalam sistem Islam. Negara dalam Islam wajib memenuhi kebutuhan manusia per individu, baik laki-laki maupun perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Hal ini karena Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat.
Pendidikan yang berkualitas, bebas biaya dan terpenuhi untuk semua peserta didik bisa terealisasikan secara menyeluruh. Negara pun akan mencegah pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi seperti saat ini. Selain itu, kebijakan negara juga secara sistemis akan mendesain sistem pendidikan dengan seluruh sistem pendukungnya.
Negara dalam Islam benar-benar menyadari bahwa ketersediaan pendidikan adalah sebuah investasi masa depan. Sehingga akan menyediakan fasilitas maupun infrastruktur pendidikan yang cukup dan juga memadai, seperti gedung sekolah, laboratorium, balai penelitian, buku pelajaran, dan sebagainya.
Hal ini karena kepala negara dalam Islam adalah penanggung jawab. Rasulullah saw. dalam hadis riwayat Muslim mengatakan seorang imam atau kepala negara adalah penggembala atau penanggung jawab dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas penggembalaan atau kepemimpinannya.
Walaupun negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh warga negara, bukan berarti individu dilarang menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Setiap warga negara Islam diperbolehkan mendirikan sekolah, madrasah, pesantren, atau lembaga-lembaga pendidikan. Bahkan, boleh menarik kompensasi atas jasa yang telah mereka berikan itu.
Namun, umumnya, lembaga pendidikan yang didirikan secara mandiri oleh masyarakat adalah lembaga wakaf sebagai bukti kecintaan terhadap ilmu. Jadi, bukan dalam rangka mencari keuntungan seperti di alam kapitalisme saat ini.
Pemimpin kaum muslim akan berupaya memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat tanpa mengandalkan pihak swasta. Negara juga akan memenuhi akses pendidikan bagi semua rakyatnya agar masyarakat tidak kesulitan mendapatkan hak pendidikannya tersebut. Artinya, jumlah sekolah yang didirikan akan memenuhi kebutuhan warganya, sehingga tidak ada fakta kesulitan mencari sekolah negeri seperti saat ini.
Sumber dana untuk memenuhi semua itu berasal dari pemasukan harta milik negara, hasil pengelolaan harta milik umum, seperti tambang mineral, migas, hutan, laut dan sebagainya. Maka dari itu, pendidikan yang bermutu dan gratis atau biaya yang sangat rendah bisa disediakan serta dapat diakses seluruh rakyat. Hal tersebut memang hak rakyat tanpa kecuali dan menjadi kewajiban negara.
Dengan demikian, kesenjangan sekolah negeri dan swasta, tidak akan terjadi ketika yang diambil adalah sistem Islam. Keberhasilan pendidikan selama 13 abad lamanya cukup memberikan bukti kepada kita bahwa Islam mampu memberikan pendidikan yang terbaik bagi peradaban manusia.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Oleh. Emirza Erbayanthi, M.Pd
(Pemerhati Sosial)