catatan.co – LPG 3 Kg langka, rakyat makin sengsara. Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan berita meninggalnya dua warga imbas langkanya gas LPG 3 kg. Kelangkaan gas mulai dikeluhkan setelah pemerintah resmi memberlakukan larangan bagi pengecer untuk menjual elpiji 3 kg. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan, mulai 1 Februari 2025 pemerintah melarang penjualan gas LPG 3 kg ke pengecer dan mengalihkan penjualan hanya ke pangkalan (agen resmi PT Pertamina).
Bahlil beralasan, kebijakan tersebut dilakukan karena pemerintah menerima laporan adanya penyaluran gas LPG yang tidak tepat sasaran. Bahkan, ada indikasi permainan harga di lapangan. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menyampaikan pengecer yang ingin melakukan penjualan elpiji bersubsidi harus terdaftar sebagai pangkalan atau sub penyalur resmi dari Pertamina. Dengan begitu, penjualan elpiji 3 kilogram melalui pengecer tidak akan diizinkan lagi. “Jadi, pengecer kita jadikan pangkalan. Mereka harus mendaftar nomor induk perusahaan terlebih dulu,” terang Yuliot di Jakarta.
(Kompas.com 31/01/2025).
https://money.kompas.com/read/2025/01/31/154223926/elpiji-3-kg-tak-lagi-dijual-di-pengecer-mulai-1-februari-2025?utm_source=Various&utm_medium=Referral&utm_campaign=Bottom_Mobile
Menyulitkan Rakyat
Kebijakan terkait gas elpiji ini sungguh sangat membingungkan. Masyarakat seolah dipersulit untuk mendapatkan gas elpiji. Padahal, syarat untuk menjadi agen resmi pangkalan gas juga tidak mudah, yakni harus mempunyai modal minimal 100 juta dan lahan minimal 165 meter persegi.
Niat awal ingin menyelesaikan masalah gas elpiji sesuai perintah, justru kekacauan yang terjadi. Bahkan, hingga harus menimbulkan kerugian jiwa dan materi. Warga harus panas-panasan mengantre bahkan sampai meninggal dunia. Meskipun akhirnya DPR dan presiden membolehkan kembali para pengecer berjualan setelah banyaknya aksi protes, masalah kelangkaan gas melon masih terus berlanjut.
Masyarakat sudah mengalami kesulitan hidup karena minimnya lapangan kerja. Ditambah dengan pengurangan jumlah subsidi gas tiap tahunnya yang menyebabkan langkanya gas. Tentu membuat masyarakat makin sulit lagi hidupnya.
Inilah bukti zalimnya kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim. Seolah peduli dengan rakyatnya, tetapi sebenarnya hanya tidak mau rugi. Hal ini terjadi bukan karena pergantian menteri atau pejabat semata. Bukan pula, karena kekhilafan para pembuat kebijakan yang seolah tidak sengaja menimbulkan kekacauan. Semua ini akibat dari penerapan sistem kapitalisme di negara kita, termasuk dalam bidang ekonomi.
Kapitalisme memberi ruang bagi para pemilik modal besar untuk menguasai lahan bisnis dan distribusi pasar demi untung besar. Sementara yang bermodal kecil usaha mereka menjadi mati. Pemerintah pun tidak ingin merugi dengan memberi rakyat subsidi secara cuma-cuma, yang menurut mereka tidak tepat sasaran.
Subsidi dalam sistem kapitalisme neoliberal memang hanya dianggap beban. Sehingga sedikit demi sedikit subsidi terus dikurangi, hingga pada akhirnya tidak ada lagi subsidi sama sekali sebagaimana terjadi pada kasus bahan bakar minyak (BBM). Padahal, hasil gas alam Indonesia sangatlah besar karena mampu memproduksi sekitar dua kali lipat dari gas alam yang dikonsumsi. Bahkan, Indonesia masuk dalam 10 daerah terbesar penghasil gas alam di dunia.
Islam Atasi Langkanya LPG
Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam. Dalam aturan Islam, sumber daya alam termasuk hasil tambang telah ditetapkan sebagai kepemilikan umum dan tidak boleh diprivatisasi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Sementara minyak dan gas masuk dalam pengertian api di sini, yakni merupakan hasil dari SDA. Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bahkan mengambil kembali pemberiannya yang terindikasi merupakan kekayaan milik umum. “Sesungguhnya Abyadh bin Hamal Al-Mazaniy bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR. Tirmidzi)
Jadi, yang seharusnya bertanggung jawab penuh mengelola semua sumber daya alam hingga bisa dinikmati oleh masyarakat adalah negara. Tidak boleh sedikit pun pengelolaannya diserahkan kepada swasta maupun perorangan. Pemimpin negaralah yang memiliki andil besar bagaimana mengatur kebijakan yang adil dan tidak zalim. Bukan untuk mencari keuntungan dari kekuasaan dan memeras rakyatnya sendiri, tetapi justru melayani dan menjamin kesejahteraan tiap orang di bawah kepemimpinannya.
Sebagaimana yang disampaikan Nabi saw., “Setiap dari kalian adalah raa’in (pemimpin/pengurus) dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Hanya dengan sistem Islam yang dijalankan oleh negara, yang mampu memudahkan tiap orang mengakses kebutuhannya dalam layanan publik seperti fasilitas umum dan pemanfaatan hasil sumber daya alam. Termasuk migas yang di dalamnya terdapat kebutuhan masyarakat setiap harinya, seperti bahan bakar bakar transportasi dan memasak. Semua ini mustahil terlaksana dalam sistem sekarang yang tidak mengambil Islam sebagai aturan kehidupan dan bernegara.
Wallahu a’lam bishawab.[]