Catatan.co, Samarinda – Samarinda kembali dihadapkan pada persoalan sulitnya mendapatkan epiji 3 kilogram (kg), meskipun kuota yang tersedia sebenarnya mencukupi.
Ketua Komisi II DPRD Samarinda, Iswandi, mengungkapkan bahwa penyebab utama kelangkaan ini bukan terletak pada kurangnya pasokan, melainkan distribusi yang tidak merata serta praktik pembelian yang tidak tepat sasaran.
“Berdasarkan data Pertamina, stok elpiji 3 kg seharusnya cukup. Namun, kebijakan larangan penjualan oleh pengecer yang sempat diberlakukan pada 1 Februari membuat masyarakat panik dan membeli dalam jumlah besar,” ujar Iswandi saat rapat dengan Pertamina dan dinas terkait, Kamis (6/2/2025).
“Untungnya, aturan tersebut telah dicabut sementara oleh Presiden pada 3 Februari,” lanjutnya.
Pada tahun 2024, Kota Samarinda mendapatkan kuota sekitar 9,8 juta tabung elpiji 3 kg, yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga kurang mampu serta pelaku usaha mikro.
Namun, di lapangan, banyak gas bersubsidi justru digunakan oleh mereka yang tidak memenuhi kriteria penerima.
“Banyak orang yang seharusnya tidak berhak justru ikut membeli gas melon, sehingga warga yang benar-benar membutuhkan malah kesulitan mendapatkannya,” tambahnya.
Selain itu, mekanisme pembelian di pangkalan masih bermasalah.
Warga sering kali hanya diminta menunjukkan KTP tanpa menggunakan Kartu Tepat Sasaran yang seharusnya menjadi alat kontrol utama dalam pendistribusian.
Hal ini memungkinkan gas subsidi jatuh ke tangan yang tidak semestinya.
Ketidakseimbangan distribusi juga memaksa warga mencari gas hingga ke kecamatan lain, yang berujung pada peningkatan biaya distribusi dan lonjakan harga di pasaran.
Di tingkat pengecer, harga gas bisa mencapai Rp25 ribu hingga Rp30 ribu per tabung, jauh di atas harga resmi di pangkalan.
“Harus ada evaluasi ulang terkait mekanisme distribusi. Mungkin perlu dibuat kebijakan bahwa setiap lima RT memiliki satu pangkalan, agar warga tidak perlu mencari gas ke tempat lain,” jelas Iswandi.
Ia juga menyoroti penyalahgunaan gas subsidi oleh pelaku UMKM yang tidak sesuai kriteria.
Berdasarkan regulasi, LPG 3 kg hanya boleh digunakan oleh usaha dengan omzet maksimal Rp800 ribu per hari.
Namun, ditemukan banyak usaha dengan omzet jauh di atas batas tersebut tetap menggunakan gas bersubsidi.
“Perlu ada data akurat dari dinas terkait mengenai UMKM mana saja yang berhak menerima subsidi, agar distribusinya lebih tepat sasaran,” tegasnya.
Sebagai langkah lanjutan, Komisi II DPRD Samarinda akan berkoordinasi dengan Dinas Perdagangan (Disdag) dan instansi terkait untuk merumuskan solusi yang lebih efektif dalam penyaluran elpiji 3 kg di Samarinda.
“Kami akan merinci permasalahan yang ada, merumuskan solusi konkret, dan memastikan langkah selanjutnya segera diambil agar persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik,” tutup Iswandi.