Meningkatkan PAD Haruskah dengan Pajak dan Perizinan?

Meningkatkan PAD, Haruskah dengan Pajak dan Perizinan?

catatan.co – Meningkatkan PAD Haruskah dengan Pajak dan Perizinan? Tampaknya pajak dalam tata kelola negara kapitalistik memang menjadi juru selamat pemasukan anggaran negara.

Berbagai kebijakan pungutan pun terus digulirkan kepada masyarakat dengan dalih demi pembangunan negara. Seperti halnya dilakukan oleh Pemkab Bandung yang menggelar Rapat Koordinasi Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), dengan optimalisasi potensi di tingkat kecamatan, di Gedung M Toha, Soreang, Jumat (31/1/2025).

Tokoh Bersuara

Rakor yang dipimpin langsung Bupati Bandung Dadang Supriatna ini bertujuan menggali dan mengoptimalkan potensi PAD di Kabupaten Bandung khususnya di tingkat kecamatan, terutama yang bersumber dari hotel, tempat penginapan, tempat wisata atau destinasi wisata, restoran, dan potensi pajak lainnya yang menjadi tempat berusaha.

Saya minta kerja samanya kepada para camat, Kanit Satpol PP, Kepala UPT untuk bergerak ke lapangan. Kira-kira tidak bergerak dan tidak aktif bekerja di lapangan untuk diganti,” kata Bupati Bandung.

Untuk mengoptimalkan potensi meningkatkan PAD, maka dibentuk Satuan Tugas Pengendalian Penataan Ruang, Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Perizinan Berusaha (Satgas PPR-PBG-PB Kabupaten Bandung). Satgas ini dibentuk tujuh tim dan melibatkan jajaran Forkopimda.

(https://ketik.co.id/berita/tindak-lanjut-satgas-ppr-pbg-pb-pemkab-bandung-optimalisasi-potensi-pad-tingkat-kecamatan)

Rakyat Terus Dikejar Pajak

Sungguh ironis, di tengah kondisi ekonomi yang morat-marit pemerintah malah terus mencekik rakyat dengan berbagai pungutan pajak. Seolah tak ada lagi pemasukan yang bisa diandalkan untuk menggeliatkan perekonomian dan pembangunan negara. Pajak terus dikejar sampai ke akar rumput, tak peduli kondisi yang mengimpit masyarakat hari ini.

Inilah bukti penguasa jibayah, penguasa yang tak pernah rida jika rakyatnya menikmati harta sedikit. Semua peluang untuk meraup keuntungan tak pernah dilewatkan. Beginilah kondisi negara yang hidup dan bergantung pada pajak sebagai pemasukan utamanya. Meski pajak memberatkan, terutama bagi usaha kecil dan masyarakat yang ekonominya belum stabil, tetapi negara tetap memungut pajak.

Berbagai alasan pemerintah terkait pungutan pajak pun terus dicekokkan kepada rakyat. Pertama, pajak merupakan sumber pendapatan negara yang stabil jika dibandingkan dengan pengelolaan SDA yang harga dan ketersediaannya bisa berubah-ubah. Kedua, dengan adanya pajak bisa mengurangi ketergantungan pada SDA. Pemerintah mengeklaim bahwa SDA seperti minyak, gas, dan tambang tidak terbarukan dan bisa habis. Ketergantungan pada SDA bisa membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketiga, pajak merupakan bukti partisipasi rakyat dalam pembangunan. Dengan membayar pajak, rakyat turut serta dalam pembangunan dan berhak untuk mengawasi penggunaan pajak. Namun, kenyataannya rakyat sendiri tidak paham, apakah pajak yang mereka bayarkan tersebut benar-benar dikembalikan kepada rakyat atau tidak.

Meningkatkan PAD Bukan Hanya dari Pajak

Jika pemerintah serius untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, sebenarnya pemasukan PAD bukan hanya berasal dari pajak saja. Masih banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa harus mengorbankan rakyat. Jika saja pemerintah mau dan menjalankan tupoksi sebagai pengatur rakyat, maka sebenarnya mereka bisa mengelola SDM yang sudah melimpah di Kabupaten Bandung, kemudian hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat.

Rakyat tak perlu dikejar-kejar pajak hingga dibentuk satgas penertiban pajak dan perizinan, sementara SDA Indonesia dikuasai asing. Namun, inilah konsekuensi ketika negara menerapkan sistem ekonomi neoliberal. Sistem ini membuat Indonesia kehilangan kedaulatan atas kekayaan alamnya. Padahal, jika saja SDA dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya digunakan untuk rakyat, seharusnya pajak tidak perlu menjadi sumber pendapatan utama.

Solusi Islam

Berbeda dengan Islam yang memiliki banyak kanal pemasukan bagi kas negara (baitulmal). Bukan dari pajak sebagaimana negara hari ini. Dalam kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid dan kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf, disebutkan bahwa pemasukan dan pengeluaran negara ditetapkan syarak, tidak berbasis pajak dan utang.

Negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah, akan mengelola SDA-nya agar tidak jatuh ke tangan swasta/asing. Kemudian memaksimalkan SDA untuk akhirnya dibuat barang-barang yang dijual, semisal baja, biji besi yang dipergunakan dalam pembuatan kapal, mor-mor kendaraan, pesawat terbang, dsb. Jadi, semua SDA yang ditambang akan dikelola dengan baik, sehingga hasilnya bisa dijual.

Hal ini dilakukan penguasa karena mereka yakin bahwa amanah kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sehingga, penguasa dalam Islam tidak akan melalaikan kewajibannya dalam melayani dan meriayah rakyat. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”

Maka dari itu, seharusnya pemimpin hanya memerintah dengan Islam bukan dengan yang lain. Dalam kitab Syakhshiyah Al-Islamiyyah juz 2 karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dipaparkan bahwa Allah Swt. telah memerintahkan pemimpin agar memperhatikan rakyatnya, memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain.

Khatimah

Berbagai pungutan pajak yang membebani rakyat akan hilang ketika kita menerapkan aturan Islam secara kafah dalam bingkai negara. Sehingga kesejahteraan akan dirasakan oleh rakyat, bukan kesempitan seperti halnya saat ini. Oleh karena itu, kita wajib bersungguh-sungguh mewujudkan sistem yang sudah digariskan Allah Swt., yaitu Daulah Islam.

Wallahu a’lam bishawab. []