One Piece: Simbol Teriakan Ketidakadilan Rakyat.

One Piece: Simbol Teriakan Ketidakadilan Rakyat.

Catatan.co – One Piece: Simbol Teriakan Ketidakadilan Rakyat. Di sejumlah tempat di Indonesia, khususnya di Samarinda, Kalimantan Timur, sebuah kejadian menarik sekaligus memicu perdebatan terjadi saat perayaan kemerdekaan. Pasalnya, bendera bajak laut yang mengenakan topi jerami, yang dikenal sebagai Jolly Roger dari anime One Piece, terlihat berkibar di antara suasana merah-putih.

Bagi sebagian orang, itu hanya bagian dari budaya pop dan kecintaan pada serial karya Eiichiro Oda. Namun bagi sebagian lainnya, seperti Yadi Tandon (32), warga Samarinda yang sehari-hari berjualan air tandon, bendera itu adalah simbol kekecewaan.

Ini murni karena kecewa. Ada koruptor bebas malah disambut seperti pahlawan pulang perang. Pajak semakin memberatkan, aturan makin aneh. Kami rakyat kecil cuma bisa protes begini,” ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2025/08/07/083322878/kibarkan-bendera-one-piece-warga-samarinda-kami-rakyat-kecil-cuma-bisa

Makna di Balik Simbol

Dalam serial One Piece, Jolly Roger adalah bendera yang dikibarkan oleh kru bajak laut sebagai identitas dan pernyataan kebebasan dari kekuasaan yang menindas. Luffy, sang tokoh utama, dikenal melawan otoritas yang korup dan memperjuangkan keadilan menurut versinya.

Rakyat sangat kecewa dengan situasi di negeri saat ini. Bagaimana bisa korupsi semakin berkembang, sementara hukum yang ada sangat tidak adil, di mana penegakan hukum hanya berat sebelah, keras terhadap yang lemah namun lemah terhadap yang kuat. Beban beban ekonomi kian mencekik, sehingga simbol ini menjadi bentuk protes dalam diam. Ironisnya, justru bendera inilah yang dianggap berbahaya oleh pihak berwenang, sementara sumber keresahan rakyat sering diabaikan.

Kaya SDAE Tapi Tak Kesejahteraan

Kaltim adalah potret nyata paradoks pembangunan. Memiliki kekayaan dan sumber daya alam berlimpah, terutama tambang dan migas, yang seharusnya menjadi berkah bagi masyarakat. Namun, fakta menunjukkan sebaliknya, hutan-hutan mengalami penebangan sehingga gundul karena ulah para kapitalis, banjir sering melanda hampir di semua kota dan desa, jalan-jalan rusak akibat truk-truk dari kegiatan penambangan, serta terdapat lubang-lubang yang tersisa dari aktivitas pertambangan dan seterusnya. Akibatnya, telah merenggut nyawa, dan minimnya kesejahteraan menjadi bagian dari kehidupan warga.

Di tengah kondisi ini, masyarakat menyuarakan isi hati dan rasa kecewanya, memprotes lewat simbol budaya pop. Mirisnya, malah dianggap masalah. Sementara penyelewengan kebijakan dan korupsi yang menggurita tidak mendapatkan penanganan serius.

Pandangan Islam tentang Simbol

Dalam Islam, simbol budaya pop seperti One Piece termasuk bagian dari hadharah yang netral hukumnya, selama tidak mengandung akidah atau nilai yang bertentangan dengan Islam. Ia bisa menjadi sarana komunikasi atau protes, sebagaimana rakyat menggunakan berbagai media untuk menyuarakan ketidakpuasan.

Namun yang lebih penting, Islam mengajarkan bahwa fokus kritik harus diarahkan pada akar masalah yakni penguasa yang zalim, kebijakan yang menindas, dan penerapan sistem yang rusak. Sumber: (https://muslimahnews.net/2025/08/10/38047/)

Sikap Penguasa terhadap Kritik

Sejarah telah membuktikan, kritik rakyat bukan hanya diterima, tapi dianggap sebagai tanda cinta dan kepedulian terhadap negara.

Khalifah Umar bin Khaththab r.a., misalnya, pernah ditegur oleh seorang wanita Quraisy di hadapan rakyatnya sendiri terkait kebijakan pembatasan mahar bagi wanita tidak boleh lebih dari 400 dirham. Di mana kebijakan itu dianggapnya tidak adil dan memberatkan.

Wanita itu lalu berdiri, menatap orang- orang yang hadir dengan penuh keyakinan. Dengan bahasa yang santun namun tegas, ia berkata:

Wahai Amirul Mukminin, tidaklah engkau mengetahui firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu ingin mengganti istri dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya…” (QS. An-Nisa: 20)

Ayat itu meluncur begitu fasih dan bagaikan cahaya yang menembus hati Umar. Wajah beliau berubah, bukan karena marah, melainkan karena kerendahan hati. Lalu beliau berkata: “Wanita itu benar, Umar yang salah.”

Sejak saat itu, Umar membatalkan kebijakan pembatasan mahar. Dan mengakui bahwa mahar adalah hak penuh seorang wanita, bukan batasan yang ditentukan oleh penguasa.

Begitulah Umar bin Khaththab r.a., terkenal sebagai seorang yang tegas tetapi tak segan mengakui kesalahan. Bahkan kepada seorang wanita biasa. Kejujurannya bukanlah tanda kelemahan, justru menjadi bukti tentang ketakwaan dan kemuliaan hatinya.

Pun demikian juga dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga dikenal membuka pintu lebar bagi kritik. Ia berkata: “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Jika aku benar, bantulah aku. Jika aku salah, luruskan aku.”

Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh penguasa, bukan membungkam kritik dengan alasan menjaga wibawa. Apalagi menakut-nakuti rakyat dengan ancaman hukum hanya karena mengibarkan simbol yang berbeda.

Baca Juga: Pemblokiran Rekening Dormant Bentuk Kesewenangan

Khatimah.

Simbol bukanlah sebuah masalah. Bendera One Piece hanyalah secarik kain dengan gambar tengkorak bertopi jerami. Ia bukan ancaman bagi kedaulatan negara. Ancaman yang sebenarnya muncul ketika aspirasi masyarakat tidak diperhatikan, tindakan korupsi dibiarkan begitu saja, dan sumber daya alam dieksploitasi oleh perusahaan luar negeri serta dikuasai oleh segelintir individu.

Islam menawarkan solusi secara menyeluruh dan komprehensif atas problem yang ada. Termasuk bagaimana cara penguasa merespons kritik positif dari rakyat. Dalam Islam, menjadi kepala negara atau pemimpin bukan sembarang orang. Akan tetapi orang yang benar-benar amanah, takut kepada Allah, menjalankan hukum dengan seadil-adilnya, dan pengelolaan kekayaan alam hanya untuk kemaslahatan umat.

Dengan demikian, selama sistem kapitalisme masih memihak kepada elite dan menindas rakyat. Maka kritik, baik lewat kata-kata, tulisan, aksi damai, maupun simbol harus terus dilakukan sebagai muhasabah lil hukam. Harapannya semoga dengan itu penguasa menyadari akan kebijakannya yang keliru dan menyakiti hati rakyat.

Rasulullah saw. bersabda:

Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang hak kepada penguasa atau pemimpin yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Majah)

Wallahualam bishawab. []

Penulis: Mimi Muthmainnah

(Pegiat Literasi)