catatan.co – Ruang Hidup Rakyat Dirampas, di Mana Negara? Bulan Ramadan seharusnya menjadi momen bagi seluruh masyarakat, tak terkecuali penguasa untuk bermuhasabah dan memperbanyak amal kebaikan. Hal ini karena setan-setan dibelenggu di bulan ini, amal kebaikan lebih besar pahalanya dan dosa lebih besar hukumannya daripada bulan lainnya.
Namun, apa jadinya jika bulan Ramadan justru dinodai dengan tindak perampasan lahan warga? Sungguh tak tahu malu dan tak takut dosa.
Perampasan Lahan
Tindak perampasan ruang dan lahan ini terjadi di Penajam Paser Utara (PPU). Aksi solidaritas terhadap empat warga Desa Telemow yang kini menghadapi sidang perdana dugaan penyerobotan lahan HGB PT ITCI KU terus membludak. Mereka menuntut negara menunjukkan keadilan, dengan membebaskan lahan dan warga yang ditahan serta mendesak Presiden Prabowo Subianto bersikap.
Tampak sejumlah warga membawa kertas bertuliskan tagar #TANAHUNTUKRAKYAT dan menuntut keadilan bagi empat warga yang kini menjadi terdakwa di luar Pengadilan Negeri (PN) PPU, tempat kasus ini disidangkan. Sartinah (45) adalah istri salah satu terdakwa, Rudiansyah, yang menyuarakan harapannya agar tanah Telemow dikembalikan kepada masyarakat. Ia menyampaikan bahwa tanah tersebut telah dihuni leluhurnya sejak 1946, jauh sebelum perusahaan masuk. Namun, sejak 2017, warga terus mengalami tekanan untuk meninggalkan lahan mereka hingga muncul empat tersangka yang didakwa.
Sementara warga lainnya mengungkapkan kekhawatiran mereka akan kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Warga mengatakan bahwa bentuk pengusiran tersebut adalah diberi peringatan, diminta kosongkan dan pindah, mulai dari kebun, rumah, dan tanah.
Dalam aksi ini, masyarakat Telemow menagih janji Presiden RI Prabowo Subianto yang sering menyatakan keberpihakannya kepada rakyat kecil, untuk memberikan ketenangan kepada warga dengan membebaskan lahan.
Mereka menegaskan bahwa tanah tersebut bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan juga sumber kehidupan mereka. Sebagian warga bahkan menuntut pencabutan izin Hak Guna Bangunan (HGB) perusahaan yang menguasai lahan mereka. Kasus ini menjadi sorotan mengingat efek besarnya terhadap hak-hak masyarakat adat serta kepastian hukum bagi warga yang telah tinggal di tanah tersebut. (https://kaltimtoday.co/sidang-perdana-dugaan-penyerobotan-lahan-di-ikn-warga-desa-telemow-tuntut-keadilan-hingga-desak-prabowo-bersikap)
Ruang Dirampas Terus
Isu perampasan lahan sudah sering terjadi. Bahkan, hingga berujung konflik antarmasyarakat dengan pemerintah atau pengusaha besar yang ingin membangun industri atau mengeksplorasi potensi tambang di wilayah yang umumnya masih dihuni oleh penduduk setempat. Mirisnya, para pengusaha tersebut sering menggunakan tangan kekuasaan untuk mewujudkan keinginan mereka yang serakah dengan mengatasnamakan investasi, Proyek Strategis Nasional (PSN), dan regulasi. Akibatnya, tak jarang lahan yang sudah dihuni warga selama ratusan tahun bisa dirampas begitu saja oleh mereka.
Permasalahan konflik agraria di Indonesia memang sudah makin masif. Tak terhitung banyaknya kasus perampasan lahan atas nama investasi-PSN. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 2.710 konflik agraria selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Kemungkinan kasus ini bertambah di era Presiden Prabowo Subianto.
Selain dirampas ruang hidup dan lahannya, rakyat juga mengalami tekanan mental karena ribuan rakyat dikriminalisasi demi mempertahankan hak atas tanahnya. Tak ingatkah kita kasus yang terbaru mengenai Tragedi Muara Kate akibat konflik warga setempat yang menolak penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling batubara?
Akibat Keserakahan
Lagi dan lagi, rakyatlah yang terus menjadi “tumbal” akibat keserakahan penguasa. Apalagi para pengusaha besar itu sering menggunakan tangan-tangan besi untuk mencegah rakyat yang mencoba menghalangi proyeknya. Sungguh sangat tampak sistem kapitalisme telah menguasai negeri ini.
Para penguasa yang berkongkalikong dengan pengusaha hanya mengejar manfaat keuntungan yang besar. Tak peduli kerusakan lingkungan, keadilan rakyat apalagi dosa besar dalam agama. Inilah cara pandang sekuler kapitalistik yang melahirkan berbagai pilar kebebasan, salah satunya kebebasan memiliki lahan.
Begitu pula penyelesaian konflik perampasan lahan yang sering kali jauh dari rasa ketidakadilan. Karena masih banyak warga yang dirampas lahannya, tetapi sering tidak mendapat ganti rugi yang memadai bahkan hilang begitu saja. Dengan demikian, layakkah kita sebut bahwa negara hari ini yang lebih berpihak kepada oligarki dibanding rakyatnya sendiri?
Nyatanya, kita melihat sikap negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan ruang hidup dan menjadi pelindung untuk rakyatnya, justru bersikap semena-mena, represif, dan kian zalim setiap harinya. Lantas adakah solusi fundamental terhadap penyelesaian konflik agraria ini?
Islam Melindungi
Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepada dirinya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Berangkat dari hadis di atas saja, Islam telah menampakkan keberpihakannya kepada rakyat. Sebab dalam Islam, tanah merupakan hak seluruh umat Islam atau warga nonmuslim (kafir zimi yang terikat perjanjian dengan negara Islam). Pengelolaannya bebas dimanfaatkan jika tanah tersebut tidak termasuk bagian dari kemaslahatan umum. Tanah-tanah yang termasuk bagian kemaslahatan umum seperti gunung, pantai, lembah, hutan, hutan lindung dan tanah-tanah mati yang tidak dimiliki individu, kepemilikannya diserahkan kepada negara dan tidak boleh dikuasai secara individu.
Dengan begitu, di luar tanah-tanah milik umum dan negara, maka tanah tersebut adalah milik individu. Tanah milik individu tentunya dimiliki dengan kepemilikan yang sah menurut syariat dan dimanfaatkan sebatas sesuai kemampuan masing-masing yang dibenarkan oleh syariat. Pemiliknya boleh menjual tanah tanpa mengalami tekanan dari siapa pun. Haram diambil paksa oleh negara atau siapa pun tak peduli atas nama PSN, investasi, dan sebagainya tanpa persetujuan pemiliknya.
Hal ini pernah dipraktikkan pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dan walinya (gubernur) Mesir Amr bin ‘Ash yang berencana untuk membangun sebuah proyek pembangunan masjid demi kepentingan masyarakat. Di area tersebut terdapat sebuah gubuk milik orang Yahudi yang tidak mau diambil tanahnya. Amr sudah menawari dengan harga tinggi dan melakukan berbagai upaya. Namun, orang Yahudi tersebut tetap tidak mau.
Amr bin ‘Ash pun memaksa sehingga orang Yahudi itu mengadu kepada Khalifah Umar di Madinah. Khalifah Umar segera meminta Amr bin ‘Ash untuk menghentikan proyek tersebut dengan mengirim tulang yang terdapat gambar garis lurus dengan pedangnya. Amr pun menghentikan proyek tersebut.
Pemimpin adalah Pelindung
Demikianlah profil pemimpin dalam sistem Islam yang sangat mengetahui kapasitasnya sebagai seorang pemimpin. Dalam Islam pemimpin adalah raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) sehingga tidak akan menzalimi rakyat.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang Mujaddid dan Mujtahid mutlak dalam kitabnya Syakhsiyah Islamiyah Jilid II bab “Tanggung Jawab Umum” menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah membatasi berbagai tanggung jawab umum yang harus dipenuhi penguasa terhadap rakyatnya. Salah satu tanggung jawab umum tersebut adalah wajib memerintah dengan syariat Islam saja dan tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum. Apalagi tanah milik individu yang dibenarkan oleh syariat.
Begitu pula hakim yang memimpin persidangan, hendaknya berpedoman Al-Qur’an dan sunah agar terwujud keadilan di tengah masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Hakim itu ada tiga macam, dua neraka dan satu masuk surga.” (HR. Abu Daud)
Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebenaran itu. Sedangkan hakim yang masuk neraka adalah hakim yang zalim dan hakim yang bodoh.
Demikianlah sistem Islam yang jika diterapkan akan benar-benar mampu menjadi solusi seluruh permasalahan. Menjamin kesejahteraan rakyat beserta ruang hidupnya dan mewujudkan kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat. Semoga kita menjadi bagian dari yang memperjuangkannya.
Wallahu ‘alam bishawab.[]
Penulis. Hanifah Tarisa Budiyanti, S, Ag
Aktivis Muslimah