Pengelolaan Tambang dalam Islam

Pengelolaan Tambang dalam Islam

Catataan.co Pengelolaan Tambang dalam Islam. Janji-janji manis soal penindakan tambang ilegal ternyata hanya sebatas narasi yang diulang setiap pergantian periode jabatan. Kenyataannya, truk-truk batu bara masih bebas lalu-lalang di jalan umum. Seolah aturan hanya berlaku bagi rakyat biasa. Warga Muara Kate yang sudah muak dengan situasi ini akhirnya turun tangan sendiri mengadang puluhan truk batu bara ilegal.

Mareta Sari, Dinamisator JATAM Kaltim, pada Kamis (5/6) mengatakan bahwa aksi penjagaan warga ini bukan tanpa risiko. Warga masih dibayangi oleh trauma peristiwa berdarah yang menyebabkan gugurnya Rusell (6) pada November 2024. Menurut catatan JATAM, sudah lebih dari 200 hari sejak tragedi itu berlalu. Alih-alih mendapat perlindungan, mereka justru diteror dan diabaikan.

Aparat pun masih bungkam. Begitu pun pemerintah yang belum mampu membuktikan keberpihakan pada rakyat. “Bahkan setelah berganti-ganti Gubernur, pelanggaran penggunaan jalan umum untuk angkutan batu bara tetap tidak mampu mereka cegah, padahal sudah jelas dilarang dalam Perda No 10 Tahun 2012” Tegas Mareta.

Truk-truk tersebut berasal dari bekas tambang PT Tunas Muda Jaya (TMJ) di Desa Busui untuk dikirim ke pabrik semen PT Conch di Tabalong, Kalimantan Selatan. JATAM menilai aktivitas tersebut berpotensi melanggar dua pasal dalam UU Minerba. Pasal 158 mengatur bahwa penambangan tanpa izin bisa dipidana 5 tahun dan denda Rp100 miliar.

Sementara pasal 161 mengancam pidana serupa bagi yang mengangkut, menampung, atau memanfaatkan batu bara dari tambang ilegal. JATAM pun mendesak aparat agar segera menyelidiki dugaan tambang ilegal dan rantai distribusinya.

Data JATAM Kaltim menunjukkan, PT TMJ memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi seluas 1.992 hektare. Namun, izin itu sudah kedaluwarsa sejak 19 September 2021 dan tidak ditemukan dokumen perpanjangan resmi. Warga menduga aktivitas ini sudah berlangsung sejak bulan lalu, saat sebagian besar warga sibuk berladang. Situasi ini dimanfaatkan pelaku untuk melintas di jalan umum tanpa penjagaan ketat. (https://eksposkaltim.com/berita-14516-warga-muara-kate-hadang-50-truk-batu-bara-jatam-pemerintah-janjipol-bukti-nol.html)

Tambang Ilegal dan Nyawa yang Terlupakan

Sejatinya, fenomena tambang ilegal ini bukan sekadar soal pelanggaran lalu lintas atau konflik warga dengan sopir truk. Akan tetapi, hal ini adalah potret betapa sistem pengelolaan tambang di negeri ini kacau karena dikuasai segelintir pemilik modal, dilegalkan melalui tumpang tindihnya aturan pusat dan daerah, serta diabaikan oleh aparat. Lihatlah bagaimana negara gagal menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri.

Perda dilanggar, nyawa melayang, tetapi pemerintah seolah tak berkutik. Hal ini memperlihatkan bahwa negara lebih takut kehilangan dukungan pemilik modal daripada kehilangan kepercayaan rakyat. Warga jadi korban, lingkungan rusak, dan pemilik modal yang terus mengeruk untung.

Aktivitas tambang baik legal maupun ilegal sesungguhnya telah merusak lingkungan dan merampas ruang hidup warga. Telah banyak kejadian yang membuktikan hal ini. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 2.710 konflik agraria selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Konflik ini terus bertambah di era Presiden Prabowo Subianto. Kebebasan memiliki lahan telah menjadi sebab para penguasa yang bersekutu dengan pengusaha demi mengejar keuntungan yang besar tak peduli kerusakan lingkungan, nyawa rakyat apalagi dosa besar dalam agama.

Inilah potret kerusakan sistem sekuler kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan sumber daya alam diserahkan kepada siapa pun yang mampu menguasainya, terutama korporasi besar. Negara hanya bertindak sebagai regulator yang mengatur, alih-alih pelindung hak rakyat. Lebih buruk lagi, sistem ini berasas sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan), sehingga tidak ada nilai halal-haram yang menghiasi kebijakan. Selama menguntungkan, semua sah. Lingkungan dieksploitasi? Bisa. Gusur lahan warga demi tambang? Bisa.

Bahkan ketika sudah ada korban jiwa akibat truk tambang yang melintas di jalan umum, negara tampak tak bergeming. Seolah nyawa rakyat lebih murah dari batu bara. Hukum pun dipermainkan dalam sistem ini. Perda memang melarang, tetapi izin pusat bisa saja “menang”. Aparat pun bingung, antara melindungi warga atau melindungi kepentingan pengusaha tambang? Inilah buah pahit sistem sekuler kapitalisme. Sebuah sistem yang penuh dengan ketidakadilan serta kezaliman yang terstruktur. Lantas, tidakkah kita ingin keluar dari sistem ini?

Pengelolaan Tambang dan Fungsi Negara dalam Islam

Dalam Islam, tambang termasuk kategori milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum). Nabi saw. bersabda,

Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepada dirinya. (HR Muttafaq ‘alaih).

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan makna “api” dalam hadis ini mencakup segala sumber energi, termasuk pengelolaan tambang. Maknanya, kekayaan alam seperti batu bara seharusnya tidak boleh dimiliki swasta atau asing.

Pengelolaan seluruh barang tambang wajib dilakukan oleh negara demi kemaslahatan rakyat banyak, bukan malah memperkaya segelintir orang. Islam juga memiliki lembaga Qadhi Madzalim, yaitu lembaga yang bertugas memperkarakan kezaliman yang dilakukan penguasa atau pejabat. Alhasil, rakyat punya ruang aman untuk menyuarakan kritiknya dan mendapat keadilan. Bukan malah dikriminalisasi seperti yang terjadi hari ini.

Begitu pun fungsi negara dalam Islam. Pemimpin dalam Islam disebut raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung), sehingga tidak akan menzalimi rakyat. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya Syakhsiyah Islamiyah Jilid II bab “Tanggung Jawab Umum” menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah membatasi berbagai tanggung jawab umum yang harus dipenuhi penguasa terhadap rakyatnya. Salah satu tanggung jawab umum tersebut adalah wajib memerintah dengan syariat Islam saja dan tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum apalagi tanah milik individu yang dibenarkan oleh syariat.

Teladan kepemimpinan dalam Islam ini pernah dibuktikan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra., ketika terjadi perluasan wilayah yang sangat besar, termasuk pembebasan wilayah Irak dan Syam. Banyak tanah subur yang jatuh ke tangan kaum muslim. Para sahabat sempat menyarankan agar tanah-tanah itu dibagikan kepada pasukan yang berjihad. Namun, Umar ra. menolak. Hal ini karena Umar memahami bahwa tanah bukan semata hasil rampasan perang, tetapi hak umat yang harus dikelola untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk dimonopoli oleh segelintir orang.

Umar memilih menjadikan tanah itu sebagai kepemilikan umum dan hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, termasuk gaji tentara, pembangunan jalan, irigasi, dan subsidi kepada fakir miskin. Tanah dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan dijual ke investor atau konglomerat.

Dengan demikian, dalam institusi politik Islam, penguasa bukan pelayan oligarki atau penjaga korporasi, melainkan adalah raa’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Kepemilikan umum seperti pengelolaan tambang, air, dan tanah produktif tidak bisa dibisniskan seenaknya, apalagi diserahkan ke tangan swasta atau asing.

Sungguh sangat berbeda dengan sistem kapitalisme di mana rakyat harus melawan sendiri tambang-tambang ilegal dan truk batu bara yang melintas di jalan umum. Negara justru sibuk berdalih, berkompromi bahkan diam saja. Lantas, masihkah kita berharap hidup sejahtera dalam negara yang mencampakkan aturan Allah? Tunggu apalagi wahai umat Islam, mari mempelajari Islam secara kaffah dan menerapkannya dalam kehidupan agar hidup menjadi terang dan berkah. Wallahu a’lam []

Penulis: Hanifah Tarisa Budiyanti S.Ag. (Aktivis Muslimah)