Catatan.co – Seksualisasi Anak, Mengapa Terus Terjadi? Kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak makin sering terjadi. Seksualisasi anak adalah anak dianggap sebagai objek seksual. Anak menjadi pelampiasan nafsu bejat orang-orang terdekat.
Sebagaimana yang terjadi di Tebet Jakarta, seorang guru ngaji tega mencabuli anak muridnya. Dengan alasan belajar mengaji, sang guru memanfaatkan situasi untuk melampiaskan nafsunya. Korbannya berkisar 10 hingga 11 anak. (https://news.detik.com/berita/d-8004127/5-fakta-guru-ngaji-cabul-di-tebet-kini-terancam-20-tahun-bui#goog_rewarded)
Anak dalam Ancaman
Dari kasus ini mencerminkan anak-anak dalam kondisi terancam. Orang terdekat seharusnya menjadi pelindung justru melakukan kekerasan seksual. Yang menjadi pertanyaan, mengapa seksualisasi anak terus terjadi?
Pertama, kelainan seksual. Naluri seksual adalah fitrah yang Allah berikan kepada setiap manusia. Naluri ini tidak dapat dihilangkan dari manusia. Naluri seksual butuh disalurkan, tetapi penyalurannya harus sesuai dengan aturan agama. Jika tidak menggunakan aturan agama, ini adalah tindakan kriminal dan pelakunya bisa mendapatkan sanksi.
Penyaluran seksual kepada anak kecil adalah tindakan kelainan seksual. Anak bukanlah objek untuk melampiaskan naluri seksual (seksualisai anak). Anak seharusnya dijaga dan dilindungi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya dan keluarganya.
Sebagai manusia normal, ketika kita melihat anak-anak kita merasa gemas. Seharusnya anak dilindungi dan diayomi, bukan malah disakiti. Seksualisasi anak adalah perbuatan bejat dan pelakunya dilaknat oleh Allah.
Kedua, fisik dan mental anak yang lemah. Fisik dan mental anak-anak masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Proses pertumbuhan dan perkembangan ini membutuhkan bimbingan dari orang di sekitarnya, khususnya orang tua. Pertumbuhan dan perkembangan ini membuat fisik dan mental anak-anak lemah.
Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh predator seksual untuk menjadikan anak sebagai objek pelampiasan seksual (seksualisasi anak). Mereka menggunakan berbagai cara dengan memanfaatkan kelemahan anak untuk melampiaskan nafsunya. Salah satu cara yang digunakan untuk mengelabuhi korban adalah dengan cara memberikan iming-iming uang jalan. Setelah korban tidak berdaya, predator seksual melakukan aksi bejatnya.
Ketiga, kurangnya kontrol dari orang tua. Anak adalah amanah yang Allah berikan kepada kita sebagai orang tua. Tidak semua pasangan suami istri Allah karuniakan anak. Oleh karena itu, besarnya amanah yang Allah berikan kepada orang tua tidak boleh dilalaikan.
Orang tua wajib memiliki ilmu yang mumpuni dalam mendidik anak. Jika orang tua tidak mencukupi ilmunya dalam mendidik anak, dapat dipastikan bingung dan tidak punya arah dalam mendidik anak-anaknya. Terlebih lagi, di zaman sekarang yang penuh dengan tantangan.
Hari ini orang tua dapat dengan mudah mengakses ilmu pendidikan anak dari sosial media. Dengan kemudahan ini tidak ada alasan lagi orang tua malas dalam mencari ilmu terkait dengan pendidikan anak. Namun, faktanya hari ini banyak orang tua yang tidak peduli dengan pendidikan dan perkembangan anak-anaknya. Mereka hanya memikirkan kebutuhan pokok saja tanpa memperhatikan perkembangan emosionalnya. Akibatnya, banyak anak yang kurang kasih sayang dari orang tuanya.
Ketika ada orang yang memberikan kasih sayang, maka anak akan bahagia. Mereka merasa dikasihi dan disayangi. Padahal, kasih sayang dari orang lain ini ada maksud dibelakangnya, yakni predator seksual ingin melampiaskan nafsu bejatnya. Anak dijadikan objek seksualnya. Ada udang dibalik batu.
Keempat, kurangnya kontrol masyarakat. Masyarakat juga menyumbang peranan penting dalam pendidikan dan perkembangan anak. Masyarakat sibuk dengan urusan dan pekerjaannya sendiri. Masyarakat yang cuek dengan keadaan sekitar turut menyumbang tingginya seksualisasi anak.
Lingkungan masyarakat yang ramah anak diperlukan oleh anak agar mereka dapat mengeksplor dirinya. Namun, lingkungan seperti ini makin hari makin sedikit.
Peran masyarakat yang juga mandul terkait dengan tumbuh kembang anak adalah amar makruf nahi mungkar. Hal ini tidak berjalan dengan baik saat ini. Banyak orang-orang asing yang mencurigakan tinggal di sekitar lingkungan kita, tetapi masyarakat tidak peduli. Padahal orang asing inilah yang akan menjadi pelaku seksualisasi anak. Nauzubillah.
Kelima, sanksi yang “lembek” bagi pelaku seksualisasi anak. Sistem yang berlaku saat ini di negara kita seolah tak mampu menyelesaikan permasalah seksualisasi anak. Salah satu faktor merebaknya kasus seksualisasi anak adalah karena sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tidak membuat jera.
Seharusnya sanksi membuat pelaku kapok, sehingga kasus seksualisasi anak makin terminimalisasi. Namun, faktanya tidak demikian. Kasus seksualisasi anak dari hari ke hari makin merebak.
Ini terbukti bahwa sistem saat ini tidak mampu menyelesaikan kasus seksualisasi anak. Berharap pada sistem kapitalisme sekuler hari ini untuk memberantas seksualisasi anak bagai pungguk merindukan bulan. Butuh sistem alternatif agar kasus seksualisasi anak segera terurai.
Sistem ini adalah sistem Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Hanya sistem Islam mampu menyelesaikan seksualisai anak hingga ke akar.
Islam Menjaga Anak dari Seksualisasi Anak
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya dari manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat yang kasar dan keras.” (TQS. At-Tahrim Ayat 6)
Ayat di atas merupakan landasan orang tua dalam menjaga anaknya dari api neraka. Penjagaan ini tidak lain dengan pendidikan agama Islam yang kuat kepada anaknya. Penanaman akidah adalah hal yang dasar untuk anak-anaknya. Akidah adalah pondasi keimanan kepada Allah bagi seseorang anak.
Selain akidah, orang tua juga harus mengajarkan syariat atau aturan Allah kepada anak-anaknya. Pengajaran syariat ini secara bertahap dan pembiasaan. Dengan penanaman pondasi dan pembiasaan syariat Islam kepada anak, maka anak akan memiliki proteksi diri.
Ketika ada seseorang yang mencurigakan mendekati anak, maka anak tidak mudah tergoda. Dengan penanaman akidah dan syariat, maka akan terminimalisasi terjadinya seksualisasi anak.
Selain orang tua atau keluarga, masyarakat juga berperan dalam pendidikan anak. Anak tidak mungkin dikurung di rumah. Mereka butuh bersosialisasi di masyarakat. Mereka tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Kontrol masyarakat dibutuhkan dalam pendidikan dan perkembangan anak. Ketika ada perilaku menyimpang dari orang-orang sekitar, maka masyarakat dengan sigap harus melakukan koreksi. Amar makruf harus senantiasa ditegakkan di masyarakat, agar kehidupan makin nyaman.
Selain orang tua atau keluarga dan masyarakat, negara juga mempunyai peran dalam pendidikan anak. Peran negara ada tiga yaitu penerapan sistem pendidikan Islam, sistem sanksi dan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan. Dengan sistem pendidikan Islam, maka akan mencetak anak-anak yang bersyaksiyah Islam.
Sistem sanksi akan menghukum pelaku seksualisasi anak dengan hukum Islam. Sanksi ini bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Peran negara berikutnya adalah penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan penerapan sistem Islam ini akan membawa rahmat bagi seluruh manusia.
Begitulah cara Islam dalam menekan angka seksualisasi anak. Peran keluarga, masyarakat, dan negara yang optimal maka seksualisasi anak akan makin minimal.
Wallahu a’lam bhishawwab []
Penulis. Lia Ummu Thoriq
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)