Catatan.co – Pelaparan Sistemis Gaza Alarm Kebangkitan Umat. Sejak Oktober 2023, Gaza menjadi saksi dari salah satu tragedi kemanusiaan paling brutal. Bukan hanya melalui bom dan peluru, tetapi melalui senjata senyap dan lambat, yakni pelaparan sistemis. Israel telah memanfaatkan blokade total terhadap Gaza bukan semata-mata untuk “membasmi Hamas”, melainkan untuk melumpuhkan, memiskinkan, dan melenyapkan eksistensi rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri. Inilah wajah genosida modern yang kini berlangsung di depan mata dunia.
Pelaparan: Strategi Bisu dalam Genosida
Pelaparan sistemis bukanlah efek samping perang, melainkan ia adalah strategi utama penjajahan Israel atas warga Gaza. Dengan memblokade segala jenis bantuan, seperti makanan, air bersih, listrik, obat-obatan, dan bahan bakar, kini Gaza hidup dalam kondisi tak manusiawi. Jumlah kematian akibat agresi ini telah menembus 60.000 jiwa, termasuk 18.000 anak-anak. Betapa angka yang mengiris nurani, namun tetap tidak mampu menghentikan genosida yang terus melaju. (httapis://www.metrotvnews.com/read/NP6C32oz-korban-tewas-di-gaza-tembus-60-000-jiwa-sejak-oktober-2023)
Fakta yang mencengangkan terungkap dari laporan intelijen bahwa Israel diduga sengaja membiarkan serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 sebagai alasan sah untuk melakukan invasi penuh ke Gaza. Jika benar, maka agresi ini bukanlah reaksi spontan, melainkan bagian dari skenario politik yang telah dipersiapkan. Sebuah skema untuk membuka jalan bagi genosida (pelaparan) sistemis yang kini sedang terjadi. Dengan menciptakan ketakutan massal dan menampilkan diri sebagai korban, Israel memperoleh restu global untuk menyerang Gaza tanpa batas. Padahal, yang menjadi korban terbanyak bukanlah milisi, melainkan anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tak berdosa.
Lebih menyedihkan lagi, tekanan terhadap suara kebenaran datang bukan hanya dari Barat, tetapi juga dari negara-negara Arab sendiri. Imam Besar Al-Azhar, Ahmed el-Tayeb, sempat menyatakan Israel sebagai penyebab kelaparan di Gaza, namun kemudian dipaksa mencabut pernyataannya oleh tekanan dari pemerintah Mesir. Ini menunjukkan adanya kooptasi politik atas suara agama, di mana narasi kebenaran dibungkam demi stabilitas kekuasaan. (httapis://international.sindonews.com/read/1596931/43/ironis-mesir-tekan-imam-besar-al-azhar-cabut-kecaman-israel-biang-kelaparan-gaza-1753319248)
Sementara itu, negara-negara Arab justru mendesak Hamas menyerahkan Gaza kepada Otoritas Palestina (PA). Bukannya memperkuat perlawanan terhadap penjajahan, langkah ini berpotensi melemahkan perjuangan dan membuka jalan bagi penguasaan Israel secara tak langsung.
Reaksi Dunia (Tanpa Tindakan Nyata)
Di sisi lain, beberapa negara Barat seperti Prancis mulai mengakui negara Palestina secara resmi. Meskipun langkah ini terdengar progresif, nyatanya belum ada tindakan konkret untuk menghentikan agresi Israel. Tak ada embargo senjata, tak ada intervensi internasional, tak ada sanksi ekonomi. Dunia seperti memilih untuk menyaksikan genosida ini dalam diam, cukup puas dengan pernyataan normatif dan solidaritas semu.
Apa yang dilakukan Israel di Gaza bukan sekadar pembunuhan massal. Ini adalah upaya sistematis untuk menghapus suatu bangsa, dengan menggunakan pelaparan, kekacauan, dan trauma sebagai alatnya. Ketika seluruh dunia berbicara tentang “keamanan Israel”, siapa yang akan membela hak hidup dasar rakyat Palestina? Sungguh pelaparan sistemis ini adalah genosida gaya baru, tak terdengar ledakannya, tetapi mematikan jutaan jiwa secara perlahan.
Para penguasa muslim saat ini ibarat buta dan tuli terhadap penderitaan saudara-saudara mereka di Gaza. Mereka memilih diam, alih-alih bertindak, seolah tak ada ikatan iman yang menyatukan mereka dengan umat yang tertindas. Padahal Allah Swt. telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa sesama muslim itu bersaudara (QS. Al-Hujurat: 10). Ikatan ukhuwah islamiah bukan sekadar retorika, melainkan landasan kokoh dalam membangun solidaritas dan kekuatan umat.
Sayangnya, ikatan ini justru dilenyapkan oleh ambisi duniawi, yakni jabatan, kursi kekuasaan, dan hubungan dengan negara-negara penjajah.
Para pemimpin negeri-negeri muslim lebih takut kehilangan restu Barat daripada murka Allah. Mereka bahkan menjadikan hubungan diplomatik dengan penjajah Zionis sebagai prestasi politik, padahal di saat yang sama, darah anak-anak Gaza mengalir setiap hari. Ketika satu tubuh umat Islam disakiti, seluruhnya seharusnya merasakan sakit yang sama. Namun kini, tubuh umat itu terpecah, tercerai-berai oleh nasionalisme sempit dan kepentingan geopolitik.
Baca Juga: Mengakhiri Arogansi Penjajah
Kelemahan di hadapan musuh bukan disebabkan oleh kurangnya kekuatan militer atau sumber daya, melainkan hilangnya keberanian dan kesadaran politik atas dunia Islam. Para penguasa ini telah menanggalkan peran mereka sebagai pelindung umat dan justru menjadi perpanjangan tangan kepentingan penjajah. Jika ukhuwah islamiah benar-benar hidup, maka Gaza tidak akan dibiarkan berdarah sendiri.
Kesadaran Umat Wasilah Kebangkitan
Karena itu, ketidakpedulian para penguasa muslim terhadap penderitaan Gaza bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap ukhuwah islamiah, tetapi juga penghalang terwujudnya kemuliaan umat yang dijanjikan oleh Allah. Padahal, umat Islam sejatinya adalah umat terbaik yang Allah utus untuk memimpin peradaban sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran: 110.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk (kepentingan) manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (TQS Ali ‘Imran: 110)
Dalam sejarah, kemuliaan itu telah terwujud nyata. Rasulullah saw. mendirikan negara Islam pertama di Madinah yang kemudian dilanjutkan oleh para khulafaurasyidin dan khalifah-khalifah setelahnya. Kisah heroik Al-Mu’tasim Billah yang mengirim pasukan hanya karena seruan seorang muslimah yang dizalimi, atau ketegasan Sultan Abdul Hamid II dalam menolak penjualan tanah Palestina kepada Zionis, adalah bukti betapa kepemimpinan Islam menjaga kehormatan umat.
Hari ini, kemuliaan itu meredup bukan karena Islam lemah, tetapi karena umat jauh dari sistem Islam. Maka perjuangan untuk mengembalikan kejayaan umat bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Umat harus disadarkan akan janji Allah dalam QS. An-Nur: 55 bahwa kekuasaan akan dikembalikan kepada orang-orang beriman yang beramal saleh dan tidak menyekutukan-Nya.
“Allah telah berjanji kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (TQS An-Nur: 55)
Janji ini bukan sekadar angan, tetapi telah terbukti dalam sejarah panjang peradaban Islam. Maka tugas kita hari ini adalah memperjuangkannya kembali. Maka, kesadaran ini harus dibangun secara terorganisir melalui kepemimpinan dakwah ideologis yang membimbing umat dengan keikhlasan dan visi penegakan kembali syariat Islam secara menyeluruh. Umat Islam harus didorong untuk mewujudkannya dengan menempuh jalan yang telah dicontohkan Rasulullah saw.
Khatimah
Genosida di Gaza bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi bukti hilangnya kepemimpinan sejati di dunia Islam. Penguasa muslim bungkam, kehilangan rasa ukhuwah dan tanggung jawab terhadap saudaranya sendiri. Padahal Allah telah menjanjikan kemuliaan dan kepemimpinan bagi umat Islam. Saatnya kita tunjukkan wajah kebangkitan umat dengan kesadaran ideologis. Kita arahkan umat menuju perubahan hakiki melalui tegaknya Islam kaffah yang akan melindungi darah, kehormatan, dan masa depan umat. Wallahu a’lam bishawab.[]
Penulis: Miladiah al-Qibthiyah
(Aktivis muslimah DIY)