Pemblokiran Rekening Membuka Topeng Kapitalisme

Pemblokiran Rekening Membuka Topeng Kapitalisme

Catatan.co – Pemblokiran Rekening Membuka Topeng Kapitalisme. Baru-baru ini publik dikejutkan dengan rencana dan praktik pemblokiran rekening bank yang dianggap dormant atau tidak aktif, oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagaimana diungkapkan dalam laporan Republika berjudul “Landasan Hukum Pemblokiran Rekening Dormant Dipertanyakan”.

Kebijakan ini menuai kritik keras, salah satunya dari Anggota Komisi IX DPR RI Melchias Marcus Mekeng. Beliau menilai bahwa PPATK telah “terlalu jauh masuk ke ranah pribadi” dan seolah mengatur cara orang menggunakan uang pribadinya. Sekretaris Eksekutif YLKI pun, Rio Priambodo turut mempertanyakan prosedur dan dasar hukum yang tidak jelas, sehingga berpotensi merugikan konsumen.

(https://ekonomi.republika.co.id/berita/t09bz4409/landasan-hukum-pemblokiran-rekening-dormant-dipertanyakan-ppatk-terlalu-jauh-masuk-ranah-pribadi-part3)

Jika kita menelisik lebih dalam, kasus ini bukan sekadar soal prosedur administrasi atau perbedaan tafsir regulasi. Ia adalah potret nyata wajah sistem kapitalisme sekuler. Sebuah sistem yang secara ideologis dan struktural mendorong negara untuk selalu mencari celah demi mengeruk keuntungan dari rakyatnya, bahkan dari hak kepemilikan pribadi yang seharusnya dilindungi.

Asas Kapitalisme : Semua Bisa Dimonetisasi

Perlu dipahami bahwa sistem kapitalisme yang saat ini sedang diterapkan, berdiri atas asas kebebasan. Pertama, kebebasan kepemilikan, yakni individu atau institusi bebas memiliki dan mengelola harta untuk kepentingan pribadi tanpa batas moral agama. Kedua, kebebasan pasar. harga, distribusi, dan akses ditentukan mekanisme pasar, bukan nilai halal-haram. Ketiga, sekularisme, yakni kebebasan untuk memisahkan agama dari kehidupan publik, sehingga hukum hanya didasari oleh manfaat materi.

Dari asas inilah lahir mentalitas bahwa segala sesuatu yang bisa dimonetisasi, harus dimonetisasi. Termasuk hak rakyat atas simpanannya sendiri. Alasan Pemblokiran rekening dormant karena diduga banyak digunakan untuk menampung dana hasil tindak pidana seperti jual beli rekening, peretasan, narkoba, dan korupsi menjadi dalih untuk masuk ke ranah privasi rakyat.

Kebijakan ini bukanlah kebijakan netral. Ini adalah upaya mencari keuntungan dari aset yang “menganggur” dengan membungkusnya dalam dalih keamanan dan penertiban. Jika betul negara ingin mewujudkan keamanan, mengapa sistem yang jelas-jelas menyebabkan korupsi, narkoba, judol dan pinjol masih tetap digunakan?

Negara: Alat Penekan

Dalam logika kapitalisme, peran negara tidak selalu bertindak sebagai pelindung rakyat, melainkan kerap menjadi fasilitator kepentingan pemilik modal atau pihak yang mencari sumber pendapatan baru. Bentuknya beragam, seperti regulasi yang membuka ruang intervensi ke ranah pribadi rakyat, normalisasi pungutan atau biaya dari layanan yang sebelumnya tidak berbiaya, dan kriminalisasi administratif untuk memaksa rakyat membayar denda, biaya, atau kehilangan asset.

Kasus pemblokiran rekening dormant ini menjadi contoh telanjang bagaimana negara, alih-alih menjaga hak kepemilikan, justru memosisikan diri sebagai pihak yang berhak mengatur, menahan, bahkan mengambil alih tanpa bukti pelanggaran yang nyata.

Baca Juga: Pemblokiran Rekening Dormant

Melanggar Prinsip Praduga Tak Bersalah

Dalam Islam, prinsip al-bara’ah al-asliyah (praduga tak bersalah) berlaku mutlak. Setiap orang bebas dari tanggung jawab hukum hingga terbukti secara sah bahwa ia melakukan pelanggaran. Pemblokiran aset tanpa bukti pelanggaran yang jelas adalah bentuk penghukuman sebelum pengadilan.

Berbeda dengan kapitalisme yang memandang hukum sebagai instrumen fleksibel—bisa diubah, dipelintir, atau ditafsirkan demi tujuan tertentu. Wajar jika celah regulasi digunakan untuk melegitimasi tindakan yang sejatinya melanggar hak asasi rakyat.

Solusi Islam

Islam menawarkan paradigma berbeda. Dalam sistem Islam, negara adalah raa’in (pengurus) rakyat, yang bertugas menjaga hak kepemilikan, mengelola kekayaan umum demi kemaslahatan, dan memastikan distribusi kekayaan yang adil. Negara tidak memiliki kewenangan membekukan atau merampas harta warganya tanpa bukti.

Setiap kebijakan harus transparan, adil, dan sesuai dengan syariat. Tidak ada ruang untuk sekadar “mencari keuntungan” dari rakyat. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah (komprehensif), batas antara yang hak dan yang batil menjadi jelas.

Pun selain mengenai penyimpanan harta rakyat, cara rakyat mendapatkan harta jelas akan diperhatikan oleh negara sesuai dengan syariat Islam. Sehingga bila ada warga negara yang kaya dan memiliki aset besar, tetapi sesuai dengan prosedur syariat seperti hasil usaha/perdagangan yang halal (al-kasb), warisan (al irts), pemberian/hibah (al-hibah) atau bahkan sedekah, maka negara akan membiarkannya karena hal itu sudah menjadi harta milik pribadi yang dibenarkan oleh syarak. Akan tetapi, bila ada harta yang terindikasi melanggar syariat seperti riswah (sogok menyogok), pencurian, penipuan atau riba, maka status kepemilikkanya tidak sah secara syar’i.

Mekanisme penanganan harta yang tidak syar’i tidak lantas dirampas oleh negara. Contohnya ketika harta didapatkan dari hasil riswah, maka prosedur yang berlaku pertama, pembuktian di mahkamah. Tidak ada harta yang boleh dirampas kecuali setelah ada putusan qadhi (hakim) yang membuktikan harta itu haram. Selain itu, prinsip al-bara’ah al-asliyah berlaku, yakni setiap orang dianggap tidak bersalah sampai bukti sah membatalkannya.

Kedua, pengembalian kepada pemilik asli, jika pelaku riswah diketahui dan penerimanya masih hidup. Selain itu, jika penerima suap sudah menghabiskan harta suap, maka ia wajib menggantinya. Ketiga, jika pemilik tidak diketahui, maka harta diserahkan ke baitulmal untuk kemaslahatan umum.

Jelas hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler. Di mana negara bisa memblokir atau menyita harta tanpa putusan hukum yang sah, bahkan hanya berdasarkan “indikasi” atau “dugaan”. Sedangkan yang nyata-nyata terbukti korupsi negara seolah angkat tangan.

Masihkah terus percaya dengan topeng kapitalisme? Sedangkan Islam menawarkan solusi hakiki bahwa negara dalam Islam harus menjadi pelindung hak dan penjaga kesejahteraan rakyatnya.

Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata, “Dahulu Rasulullah saw. jika mengutus seseorang dalam suatu urusan, beliau saw. bersabda, ‘Berilah kabar gembira dan jangan menimbulkan antipati. Mudahkanlah dan jangan mempersulit.”

Wallahu a’lam bishawab.[]

Penulis: Supartini Gusniawati, S.Pd

(Aktivis Muslimah)

(Aktivis Muslimah)