Catatan.co – Di Balik Peringatan HAN: Ada Kisah Pilu Pekerja Anak. Setiap tahun, Hari Anak Nasional (HAN) diperingati dengan gegap gempita. Panggung-panggung seremoni digelar, jargon-jargon perlindungan anak digaungkan. Namun, ironisnya di balik hiruk-pikuk perayaan itu, masih tersimpan kenyataan pahit yang seakan diabaikan. Saat malam telah larut, anak-anak kecil masih tampak menjajakan dagangan di sudut-sudut kota, berjibaku dengan kerasnya hidup.
Fenomena memilukan ini nyata terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Di tengah semangat perayaan HAN 2025, anggota Komisi IV DPRD Balikpapan, Iim, mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya anak-anak yang bekerja di berbagai sudut kota. Ia menyaksikan langsung seorang anak berjualan kerupuk hingga pukul 10 malam, padahal anak-anak itu seharusnya berada di rumah, belajar dan beristirahat.
Kemiskinan yang mendera memaksa mereka turun ke jalan. Beban ekonomi keluarga, apalagi dari latar belakang keluarga miskin atau single parent, menjadikan anak-anak sebagai bagian dari strategi bertahan hidup. Tragisnya, meski kerap terjaring razia, langkah mereka tak jua terhenti. Sebab, tekanan kebutuhan jauh lebih besar daripada larangan. Pemerintah, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB), telah berusaha untuk memberikan bimbingan kepada anak-anak tersebut.
Namun, pertanyaan besarnya: Apakah pembinaan semata cukup untuk mengatasi akar persoalan? Mampukah fenomena pekerja anak dihentikan jika kemiskinan terus menjadi hantu yang menakutkan?
(https://share.google/xRhRDkTnHc7qqQytm)
Eksploitasi Anak: Fakta Tak Terbantahkan
Peringatan HAN seharusnya menjadi momen refleksi dan muhasabah atas kondisi riil anak-anak bangsa. Namun, sayangnya ia justru lebih sering menjadi ajang seremonial yang tak menyentuh akar persoalan.
Di tengah suasana meriah perayaan, terdapat banyak anak-anak yang masih terjebak dalam eksploitasi ekonomi. Di berbagai wilayah, kita menyaksikan pemandangan yang mengiris hati, anak-anak dipaksa bekerja, menjadi korban pelecehan, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan menjadi pelaku kriminal akibat rusaknya lingkungan sosial.
Anak-anak Indonesia sedang tumbuh di tengah pusaran bahaya sistemis yang menggerogoti masa depan mereka. Jika kondisi ini terus dibiarkan, generasi yang lahir akan tumbuh menjadi anak yang bermental rapuh, kelelahan menghadapi hidup, serta kehilangan identitas.
Kapitalisme Sistem Rusak
Sering kali, maraknya pekerja anak dikaitkan dengan minimnya edukasi keluarga atau lemahnya pengawasan orang tua. Namun, itu hanya tampak sebagai tanda dari masalah yang lebih besar.
Akar utama permasalahan ini adalah sistem kapitalisme sekuler-liberal yang dijadikan landasan kehidupan. Sistem ini menjadikan negara bukan sebagai pelayan rakyat, melainkan sebagai pengatur distribusi kekuasaan dan kekayaan bagi korporasi swasta atau asing. Pendidikan kini tidak hanya berfungsi sebagai layanan masyarakat, melainkan juga sebagai sektor bisnis yang menjanjikan keuntungan.
Dalam sistem ini, segala hal dinilai dengan asas manfaat. Tolok ukur halal-haram dan benar-salah ditanggalkan. Mereka beranggapan perbuatannya tidak terikat dengan nilai-nilai agama sehingga bebas mau berbuat apa saja.
Akibatnya, negara gagal menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk hak-hak anak. Ketimpangan ekonomi semakin lebar, beratnya biaya hidup, dan keluarga yang seharusnya menjadi pelindung terpaksa menyeret anak-anak mereka untuk membantu mencari penghasilan.
Negara yang semestinya hadir sebagai pelindung, justru absen dalam memastikan terpenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Sistem pendidikan tidak berbasis agama juga tidak akan berhasil dalam menghasilkan generasi yang beriman dan orang tua yang mengerti tentang tugas mendidik anak-anak mereka.
Meskipun telah ada payung hukum seperti UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, realitas membuktikan bahwa hukum hanyalah sebatas teori tanpa realisasi. Dalam sistem kapitalistik, hukum sering kali tak berpihak kepada rakyat kecil, melainkan kepada pemilik modal.
Allah Swt. telah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sesungguhnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa: 10)
Pandangan Islam
Islam melihat anak sebagai tanggung jawab yang mulia, bukan sebagai beban finansial. Mereka adalah titipan Allah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, baik oleh keluarga, masyarakat, terlebih negara. (https://muslimahnews.net/2024/06/15/30208/)
Di dalam surah At-Tahrim: 6, Allah Swt. Berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …”
Namun, perlindungan anak tidaklah cukup hanya dilakukan oleh keluarga. Dibutuhkan sistem negara yang benar-benar sahih untuk melindungi anak-anak, yakni negara yang menerapkan aturan syariat Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan.
Solusi Islam terhadap Eksploitasi Anak
Islam hadir bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi dengan seperangkat aturan sempurna yang menjamin perlindungan menyeluruh terhadap anak.
Ada beberapa layanan pemenuhan kebutuhan dasar yang akan dijamin oleh negara, di antaranya:
1. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap individu.
Setiap warga berhak atas sandang, pangan, papan, kesehatan, pekerjaan, dan pelayanan publik lainnya. Jika kepala keluarga tidak mampu bekerja, maka kerabat terdekat wajib membantu. Bila itu pun tidak mampu, maka negara yang akan menanggungnya melalui baitulmal.
2. Negara menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas.
Tujuannya mencetak generasi yang bertakwa, berilmu, dan tangguh. Pendidikan bukanlah ladang bisnis, melainkan bagian dari pelayanan yang diwajibkan kepada negara.
3. Negara menjamin keamanan dan menerapkan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan pada anak.
Siapa pun yang mengeksploitasi, menyakiti, atau merampas hak anak akan dihukum tegas sesuai syariat tanpa tebang pilih.
4. Negara memfasilitasi pembinaan keluarga.
Negara menyediakan kajian-kajian Islam, tsaqafah, parenting, ilmu kesehatan, dan ilmu praktis lainnya secara cuma-cuma untuk mendidik para orang tua agar mampu menjalankan amanahnya.
Semua dilaksanakan Khalifah dan jajaran pemerintah Islam sebagai bentuk tanggung jawab seorang pemimpin kepada orang-orang yang dipimpinnya.
Selaras dengan sabda Rasulullah saw.:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas pengurusan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sumber Kekayaan Negara
Negara secara profesional akan mengelola sumber-sumber pemasukan harta seperti zakat, kharaj, jizyah, ganimah, SDA, dan harta milik umum. Kemudian hasil dari pengelolaan harta akan diedarkan kepada umat secara merata dan adil.
Dalam penegakan sistem ekonomi Islam ini berlaku larangan praktik riba, larangan monopoli, dan larangan eksploitasi pasar. Untuk menghindari munculnya kemiskinan yang sistematis dan ketidakadilan ekonomi.
Kurikulum dalam sistem pendidikan Islam bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dalam kitab Nizham al-Islam:
“Kita wajib beriman kepada apa yang ada sebelum kehidupan dunia, yaitu Allah, dan kepada kehidupan setelah dunia, yaitu hari akhirat.”
Dengan sistem Islam, anak-anak akan tumbuh sebagai pribadi yang kokoh imannya, berwawasan luas, dan unggul secara intelektual maupun spiritual.
Baca Juga: Merajut Taman Surga Dunia
Islam Melindungi Anak
Dalam sistem politik Islam, negara menjalankan fungsinya sebagai _raa’in_ yakni pengurus dan pelindung umat. Negara akan hadir dalam setiap sisi kehidupan rakyatnya, memastikan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan terhadap anak-anak berjalan sebagaimana mestinya.
Kebijakan negara dibuat bukan demi kepentingan elite, tetapi demi kemaslahatan seluruh rakyat. Negara Islam tidak hanya menghentikan eksploitasi anak, tetapi juga mencegah lahirnya kondisi yang memaksa mereka dieksploitasi.
Ketika sistem Islam diterapkan secara kaffah, kehidupan masyarakat akan diberkahi dan berbagai persoalan sosial, besar atau kecil akan terselesaikan hingga ke akarnya.
Khatimah
Anak-anak bukan tulang punggung ekonomi keluarga. Mereka adalah amanah Allah yang harus dijaga sepenuh jiwa dan raga. Mereka adalah tunas peradaban dan pewaris kejayaan umat.
Membiarkan mereka terlantar di jalanan bukan sekadar pengabaian hak, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan umat. Kini, sudah saatnya kita menyadari bahwa solusi terhadap berbagai problem anak termasuk eksploitasi tidak akan tuntas dengan pendekatan parsial. Bukan sistem yang sibuk menawarkan janji palsu seperti sedang kampanye pemilu, melainkan jalan nyata seperti yang pernah diterapkan dan membawa umat Islam pada puncak peradaban gemilang selama berabad-abad.
Allah Swt. berfirman:
“Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk Islam berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat.”
(QS. An-Nashr: 1–3)
Wallahu a’lam bish-shawab. []
Penulis: Mimy Muthmainnah
(Pegiat Literasi)