Kenaikan Pajak Kebijakan Tak Bijak

Foto: ilustrasi foto kenaikan pajak

catatan.co – Kenaikan Pajak Kebijakan Tak Bijak. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Samarinda menggelar aksi kegiatan Refleksi Akhir Tahun dengan tema “Kilas Balik 2024” di Taman Samarendah. Puluhan kader HMI memadati aksi dan membentangkan spanduk di sepanjang Jalan Taman Samarendah serta berorasi mengisi kegiatan tersebut. Syahril Saili, Ketua Umum HMI Cabang Samarinda, mengungkapkan kegiatan tersebut merupakan bentuk kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah terkait naiknya PPN 12% yang berdampak pada masyarakat kecil.

Hal ini sebagaimana rencana pemerintah berdasarkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa tarif PPN 11% mulai berlaku pada 1 April 2022 dan PPN 12%.

Respons Masyarakat

Kenaikan pajak 12% menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat, termasuk aktivis mahasiswa di Samarinda yakni HMI. Sungguh kenaikan pajak ini merupakan kebijakan tak bijak di tengah kondisi masyarakat yang makin susah. Meski kenaikan pajak diklaim hanya diberlakukan untuk barang jasa mewah, tetapi tetap saja hal ini memengaruhi kebutuhan lain.

Kebijakan ini bukanlah sesuatu yang mengherankan lantaran pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem kapitalisme. Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka rakyatlah yang membiayai sendiri kebutuhan berbagai layanan yang mereka butuhkan. Artinya, negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Padahal, kenaikkan PPN menjadi 12% di tengah kondisi ekonomi yang lesu akan berpotensi memperburuk sektor riil.

Dampak lain dari kebijakan ini tentu akan memperburuk roda ekonomi. Seperti menggerus daya beli masyarakat, menurunkan konsumsi hingga memengaruhi dunia bisnis. Begitu juga, UMKM akan terdampak dengan kenaikan biaya produksi yang berisiko kehilangan pasar.

Sudah seharusnya intelektual bersikap kritis dengan kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat di tengah kondisi ekonomi saat ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati justru mengungkapkan rencana kenaikan tarif PPN ini diperlukan untuk menjaga kesehatan APBN.

Alasan Kenaikan Pajak

Pemerintah beralasan, menaikkan pajak atau menetapkan PPN sebesar 12% adalah bagian dari strategi fiskal untuk mencapai beberapa tujuan ekonomi dan kebijakan publik tertentu. Berikut beberapa alasan utama pemerintah menaikkan pajak hingga 12%.

Pertama, meningkatkan pendapatan negara atau kebutuhan pembiayaan pembangunan. Dalam sistem kapitalisme, pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara. Kenaikan pajak akan membantu pemerintah dalam membiayai proyek infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial lainnya. Selain itu, digunakan juga untuk mengurangi defisit anggaran yang mungkin terjadi akibat belanja negara yang lebih besar dari penerimaan.

Kedua, menyesuaikan dengan standar internasional. Beberapa negara menetapkan tingkat PPN yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Kenaikan ini bisa dianggap sebagai langkah menuju kesetaraan dengan standar internasional.

Ketiga, mengurangi ketergantungan pada utang. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah dapat mengurangi kebutuhan untuk berutang sehingga memperbaiki stabilitas fiskal jangka panjang.

Keempat, mengendalikan pola konsumsi. Pajak yang lebih tinggi pada barang tertentu bisa menjadi alat untuk mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat. Dalam kasus produk nonesensial atau produk dengan dampak lingkungan, kenaikan pajak dapat mengurangi permintaan.

Kelima, memenuhi kebutuhan pascapandemi. Pandemi Covid-19 telah menambah beban keuangan negara melalui belanja kesehatan dan program pemulihan ekonomi. Kenaikan pajak dapat membantu menutupi defisit yang terjadi selama masa tersebut.

Kenaikan Pajak dan Kepentingan Korporasi

Kebijakan menaikkan pajak dilakukan tanpa memperhatikan kesulitan hidup masyarakat. Hal ini karena sistem kapitalisme yang mengutamakan kepentingan pemilik modal besar (korporasi) di atas kepentingan masyarakat. Dalam sistem kapitalisme, fokus pertumbuhan ekonomi berdasarkan kapital, sedangkan posisi negara hanya bertindak sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi.

Maka, untuk mendukung tercapainya pertumbuhan tersebut pemerintah membutuhkan pendapatan besar untuk infrastruktur, subsidi industri, dan layanan publik. Alhasil, opsi untuk menaikan pajak konsumsi (seperti PPN) dijadikan pilihan karena lebih mudah dipungut dibandingkan pajak dari perusahaan besar atau orang kaya. Di sisi lain, sektor-sektor strategis seperti energi, pertambangan, dan infrastruktur justru diprivatisasi. Akibatnya, pendapatan negara dari SDA menjadi berkurang karena SDA bukan menjadi sumber utama pendapatan negara. Wajar, jika akhirnya pemerintah mengandalkan pajak sebagai pengganti untuk memenuhi kebutuhan negara dengan cara menaikkan tarif pajak.

Selain itu, pemerintah juga mengeklaim bahwa kenaikan pajak hanya ditujukan untuk barang yang mahal dan mewah saja, tetapi pada faktanya efek kenaikan tersebut akan dirasakan semua. Hal ini dikarenakan orang-orang kaya yang terkena pajak membebankan kenaikan pajak pada harga-harga jualannya. Maka, secara tidak langsung hal ini akan berefek pada kenaikan harga-harga.

Begitu pula, ketika insentif pajak diberikan kepada perusahaan besar untuk menarik investasi. Kecenderungannya yang terjadi adalah memindahkan beban pajak kepada masyarakat menengah ke bawah melalui pajak tidak langsung, seperti PPN. Padahal, orang-orang menengah ke bawah tidak memiliki daya tawar politik yang kuat. Sedangkan, kelas atas dan korporasi besar mendapatkan keringanan pajak atau bebas pajak.

Maka dari itu, selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme, kesulitan hidup karena kewajiban pajak akan terus dirasakan. Akar kesengsaraan ini harus diganti dengan sistem hidup yang terbukti menyejahterakan, yakni sistem Islam.

Islam Menghilangkan Pajak

Islam diturunkan oleh Allah Swt. untuk menunjukkan jalan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan menerapkan seluruh syariat-Nya. Untuk mencapai tujuan itu, pelaksanaan hukum-hukum syarak dibebankan kepada negara Islam, yakni negara yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara.

Maka, undang-undang dasar serta perundang-undangan lainnya haruslah digali dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, Allah Swt. telah menetapkan sumber pemasukan tetap negara yang terbagi dalam tiga pos pemasukan utama. Yakni, (1) pos kepemilikan umum (fasilitas/sarana-sarana umum, barang tambang yang tidak terbatas, benda yang keadaan asalnya secara fitrah untuk umum); (2) pos kepemilikan negara (fai, ganimah, khumus, kharaj, jizyah, tanah-tanah dan bangunan milik negara), ‘usyur (bea cukai), harta ghulul (haram) dan denda, khumus rikaz/ barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad, pajak (dharibah); dan (3) pos zakat (zakat hewan [unta, sapi, kambing], zakat tanaman dan buah-buahan [gandum, jewawut, kurma, dan kismis], zakat perdagangan, zakat nuqud [emas, perak, dan uang]).

Jika pos-pos tersebut tidak cukup untuk menutupi pengeluaran negara, maka pada saat itulah kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dan pos pengeluaran beralih kepada kaum muslimin, karena Allah mewajibkan atas mereka untuk membiayai kebutuhan maupun pos tersebut. Allah Swt. mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudaratan yang menimpa kaum muslimin jika tidak ada harta sama sekali.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh saling membahayakan.”

Allah memberikan hak kepada negara untuk mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan tersebut dari kaum muslimin, dengan mewajibkan pajak sesuai ketentuan syariat Islam. Akan tetapi, pungutan tersebut terbatas hanya untuk membiayai kebutuhan berikut.

Pertama, untuk pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi terkait jihad, seperti pembentukan pasukan yang kuat, latihan militer dalam skala luas, pengadaan peralatan militer yang canggih dan mampu menggentarkan musuh.

Kedua, pembiayaan industri militer serta pabrik-pabrik penunjangnya yang memungkinkan negara memiliki industri senjata, karena jihad membutuhkan pasukan dan pasukan membutuhkan senjata untuk bisa berperang.

Ketiga, pembiayaan kaum miskin dan ibnusabil. Pembiayaan terhadap mereka harus tetap dilakukan, baik di baitulmal terdapat uang maupun tidak.

Keempat, pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan atau pelayanan masyarakat untuk kemaslahatan kaum muslimin. Mereka berhak mendapatkan upah atau gaji dari baitulmal atas pekerjaan itu. Alhasil, membayar gaji mereka merupakan kewajiban baitulmal yang bersifat tetap, ada uang maupun tidak.

Kelima, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat yang keberadaannya sangat dibutuhkan; dan jika tidak dibiayai, bahaya akan menimpa umat. Misalnya, jalan-jalan umum, sekolah, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain. Ketika berbagai sarana ini tidak ada, bisa membahayakan umat sehingga bahaya ini harus dihilangkan.

Keenam, pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana), seperti tanah longsor, gempa bumi, angin topan, atau mengusir musuh.

Inilah pos-pos yang wajib dibiayai oleh kaum muslimin. Negara diperbolehkan memungut pajak untuk pembiayaannya pada saat sudah tidak ada harta di baitulmal atau tidak mencukupi.

Selain itu, pajak hanya diambil dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta, yakni dari golongan kaya saja dan tidak dipungut dari nonmuslim. Sebabnya, pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslimin yang tidak menjadi kewajiban nonmuslim. Pengambilan pajak tidak boleh dipaksakan melebihi kesanggupan atau melebihi kadar harta wajib pajak.

Selain itu, pajak tidak boleh diwajibkan/diambil, kecuali sekadar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos tersebut. Mengambil yang lebih dari itu berarti zalim. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, serta tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan.

Sedangkan untuk pungutan biaya di muka dalam administrasi, negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan barang dagangan, atau lainnya yang bukan dari bentuk-bentuk pengeluaran yang Allah Swt. membolehkan memungut pajak atasnya. Apabila negara tetap mewajibkan rakyat, berarti telah berlaku zalim dan hal ini dilarang, bahkan termasuk ke dalam tindakan memungut cukai sebagaimana diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir. Bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai.

Demikianlah pengaturan Islam terkait pungutan pajak. Apabila diterapkan, tentu akan menghilangkan kesengsaraan rakyat atas kewajiban pajak sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalisme saat ini.

Allah Swt. berfirman, “Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Wallahu’alam bishawab.[]