Catatan.co, Kaltim- Mahasiswa adalah garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi terhadap peristiwa atau kebijakan pemerintah yang tampak tidak adil untuk rakyat. Hal ini bertujuan agar kepemimpinan yang dijalani oleh para wakil rakyat itu, berdiri tegak di atas keadilan yang melindungi masyarakat. Oleh karena itu, wajar kiranya jika banyak mahasiswa yang turun ke jalan untuk melakukan aksi dan demo.
Seperti yang terjadi di Kantor Gubernur Kalimantan Timur pada Kamis (21-11-2024), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Kaltim, melakukan pembakaran ban sambil menyerukan orasi yang berkaitan dengan penyerangan sadis terhadap warga di Dusun Muara Kate, Desa Muara Langon, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser.
Belasan spanduk berisi kritik dan ungkapan kekecawaan juga ditunjukkan di hampir semua gerbang Kantor Pemda Kaltim yang berada di Jalan Gajah Mada, Kota Samarinda tersebut. Mareta Sari, yang merupakan Dinamisator JATAM Kaltim turut hadir dalam aksi ini dan mengatakan dukungannya bahwa aksi ini sebagai bentuk solidaritas perlawanan terhadap pertambangan ugal-ugalan yang menyiksa masyarakat Kaltim.
Terlebih adanya peristiwa di Muara Komam, Paser yang dalam sebulan telah menimbulkan 2 korban jiwa. “Dengan adanya kejadian ini, telah menjadi bukti bahwa negara dan aparat penegak hukum tidak pernah ada untuk masyarakat. Pemerintah tidak sanggup memberikan rasa aman kepada masyarakat.” Ungkap kekecewaan Mareta saat aksi.
Aksi ini ternyata tidak hanya terjadi sekali melainkan pada aksi sebelumnya, Mareta bersama Aliansi Masyarakat Sipil Kaltim juga menuntut agar Pemprov dan Polda Kaltim untuk menyelesaikan akar permasalahannya, yaitu menindak tegas perusahaan yang terlibat.
Mareta menegaskan dalam sebulan 2 nyawa masyarakat melayang karena memperjuangkan keselamatan lingkungan mereka. Seharusnya pemerintah menindak tegas dengan pencabutan izin perusahaan tambang tersebut.
Mareta pun juga mengingatkan bahwa dalam catatan Jatam yang dikutip dari data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan, perusahaan yang menjadi pelaku kerusakan lingkungan dan penghilangan nyawa warga tersebut memang sudah sejak lama bermasalah.
Ada 56 persen kawasan yang dikuasai berada di kawasan hutan tanpa ada izin dan sudah pernah dituntut untuk pemberhentian operasi. Ini bukanlah kasus baru namun sudah terjadi sejak lama. Begitupun aparat penegak hukum yang dilihat saling lempar tanggung jawab.
Pada intinya, aksi ini memiliki motif sebagai bentuk rasa simpati terhadap perjuangan warga Muara Kate yang tengah melakukan perlawanan menolak jalan desa yang merupakan jalan nasional dilintasi kendaraan pengangkut Batubara.
Warga setempat memasang portal hingga berjaga di pos yang dibuat di kawasan perlintasan truk pengangkut Batubara. Namun, sialnya perlawanan itu menjadi penyebab penyerangan sekelompok orang yang tidak dikenal (OTK) yang menewaskan Rusel dan kritisnya Anson ketika berjaga pada Jum’at, 15 November 2024 lalu.
(https://kaltim.tribunnews.com/2024/11/21/aliansi-masyarakat-sipil-kaltim-lakukan-orasi-di-kantor-gubernur-kaltim-ini-tuntutanya)
Lakukan Protes Agar Tidak Ada Korban
Aksi demi aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat memang cukup baik. Namun aksi tersebut belum dikatakan cukup karena motif dari adanya aksi itu belum menyentuh akar permasalahan.
Ini karena mahasiswa dan masyarakat di Kaltim hanya melakukan protes ketika ada korban jiwa. Jika pengelolaan tambang tersebut tidak ada korban jiwa atau tidak berdampak pada kerusakan lingkungan, maka aktivitas tambang akan terus dibiarkan.
Padahal, mahasiswa dan masyarakat sudah seharusnya memprotes adanya pengelolaan tambang (SDAE) yang dikuasai sepenuhnya oleh oligarki. Adanya korban hanyalah efek namun bukan penyebab utama. Sejatinya, penyebab utama adanya korban jiwa dalam pengelolaan tambang bahkan anak-anak kecil yang sering dikabarkan tenggelam di lubang bekas tambang adalah karena sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang meniscayakan pengelolaan tambang dimiliki oleh swasta asing dan aseng (oligarki).
Sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang meniadakan aturan agama dalam mengatur kehidupan dan adanya pilar kebebasan kepemilikan telah membuat negara menyerahkan pengelolaan SDAE beserta keuntungannya kepada oligarki. Misalnya UU No. 3 Tahun 2020 pasal 35a tentang pertambangan minerba yang menghapus ketentuan pidana bagi aktivitas tambang yang tidak berbadan hukum namun pidana diberlakukan hanya pada pelaku individu saja.
Pengurusan SDAE yang mestinya diurus oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, malah hasilnya hanya dinikmati oleh oligarki dan keluarganya.
Memang, dalam sistem demokrasi, negara hanyalah bertugas menjadi regulator (pembuat aturan) yang menjembatani antara pengusaha dan rakyat. Sementara itu, negara nampak tak pernah hadir ketika rakyat mengalami penderitaan hingga berujung penghilangan nyawa.
Jelas saja, peristiwa jatuhnya nyawa rakyat sebagai korban dari pengelolaan tambang telah menggambarkan negara gagal dalam melindungi rakyatnya dari rasa aman.
Begitupun sistem sanksi dalam negara demokrasi yang lemah. Berulang kali kasus hilangnya nyawa rakyat atau rusaknya lingkungan karena pengelolaan tambang yang serakah, namun karena kekuatan modal yang dimiliki oleh oligarki, aparat penegak hukum pun tak bisa bertindak banyak. Mereka seakan bersikap pasrah dan tunduk kepada oligarki sedangkan terhadap rakyat mereka bersikap abai dan minim empati.
Alhasil, peristiwa hilangnya nyawa akibat tambang yang terus berulang tidak bisa dianggap remeh dan hal ini merupakan permasalahan sistemik yang solusinya pun juga harus bersifat sistemik. Sistem demokrasi kapitalis sekuler telah membuat negara tampak terkesan tidak berkuasa di hadapan oligarki dan cenderung abai terhadap nyawa rakyat. Lantas bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Kedudukan Tambang dalam Islam
Dalam Islam, kekayaan SDAE seperti batubara, nikel, migas, emas dan sebagainya harus diurusi sepenuhnya oleh negara dan hasilnya diberikan kepada rakyat dalam bentuk terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar mereka seperti sandang, pangan, papan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan keamanan yang disediakan secara gratis, murah dan berkualitas. Ketentuan ini didasari oleh hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, api dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Oleh karenanya, dalam hadis tersebut tambang (SDAE) disifati sebagai api yang umat Islam berhak untuk memilikinya.
Sementara itu, negara haram menyerahkan kepada individu atau kepada perusahaan swasta asing dan aseng melainkan wajib mengembalikan hasil pengurusan tambang untuk kesejahteraan rakyat.
Pengurusan tambang juga mesti sesuai dengan ketentuan syariat yang tidak boleh merusak lingkungan, merampas tanah warga, apalagi sampai mengorbankan nyawa. Rasulullah saw., bersabda “Barangsiapa mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya pada hari kiamat nanti seberat tujuh lapis bumi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika masih ada perusahaan atau individu yang curang dan melakukan aktivitas tambang secara diam-diam, maka negara akan bertindak tegas dengan memberikan sanksi yang menjerakan.
Sistem sanksi dalam Islam bersifat zawajir (pencegah) yang artinya akan mencegah orang melakukan kesalahan yang sama dan jawabir (penebus) yaitu menebus hukuman di akhirat. Kasus pembunuhan atau penghilangan nyawa secara sia-sia merupakan dosa besar dalam Islam dan pelakunya harus diberlakukan hukuman qisas.
Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita” (TQS Al-Baqarah: 178).
Demikianlah strategi Islam dalam menjaga setiap nyawa rakyatnya dan berupaya mensejahterakan mereka.
Alhasil, perjuangan menuju tegaknya penerapan sistem Islam adalah perkara yang tidak dapat ditunda lagi. Kondisinya sudah sangat darurat dan mendesak! Wallahu‘alam bishawab[]
Penulis: Hanifah Tarisa Budiyanti, S. Ag
Aktivis Dakwah