catatan.co – Akmal Malik, Pejabat (Pj) Gubernur Kalimantan Timur bersama grup band Slank melakukan penanaman padi di lahan bekas tambang PT Bukit Baiduri Energi (BBE) di kawasan Merandai, Loa Duri Ulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kamis. Akmal mengatakan, “Penanaman padi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa lahan bekas tambang dapat dioptimalkan untuk mendukung ketahanan pangan”.
Akmal menjelaskan, Kaltim mempunyai kawasan tambang seluas 5,1 juta hektar. Maka dari itu, ia mengajak perusahaan tambang untuk berkolaborasi memanfaatkan lahan tersebut. Salah satu pilihannya adalah berkolaborasi bersama para pemilik konsesi. Ketika bahan-bahannya sudah selesai diproduksi, lahannya bisa dialihfungsikan menjadi lebih bermanfaat.
Bekas Tambang Layak Jadi Lahan Pertanian
Pj Gubernur Kaltim mengapresiasi langkah PT BBE yang telah mereklamasi lahan bekas tambang menjadi lahan pertanian produktif. Akmal juga menekankan akan pentingnya peran influencer seperti Slank dalam mengampanyekan optimalisasi lahan bekas tambang.
Menurut dia, harus ada orang-orang seperti Slank dalam mengampanyekan aksi ini agar bisa menginspirasi masyarakat dan perusahaan lain untuk melakukan hal serupa. Akmal berharap, ke depannya akan banyak lahan bekas tambang yang direklamasi sehingga layak menjadi lahan pertanian.
Direktur PT Bukit Baiduri Energi, Ricky Gowdjali menjelaskan program ini adalah bagian dari program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Lahan bekas tambang seluas 15 hektar telah disiapkan untuk persawahan sejak tahun 2019. Program ini bekerja sama dengan Dinas Pertanian Kabupaten Kutai Kartanegara.
Para petani mendapat pendampingan dalam pengaturan irigasi, penggunaan pupuk, dan persiapan kelayakkan lahan. Masing-masing kelompok tani membawahi petak sawah seluas 2.000 meter persegi. Menurut Ricky, program ini dikatakan berhasil karena hasil panen di lahan bekas tambang ini mencapai 3,5 hingga 4 ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan panen sebelumnya yang rata-rata hanya 2,5 ton per hektar.
Hal ini juga sekaligus merupakan wujud dari penerapan prinsip-prinsip penambangan yang baik sesuai prosedur yang ada. (https://kaltim.antaranews.com/berita/229546/gubernur-kaltim-gandeng-slank-tanam-padi-di-lahan-bekas-tambang)
Lahan Bekas Tambang, Layakkah?
Memanfaatkan lahan bekas tambang untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, sejatinya tidak layak. Karena menurut beberapa penelitian dari ahli lingkungan atau intelektual, bahwa lahan bekas tambang memiliki potensi bahaya lingkungan dan kesehatan.
Bahaya lingkungannya antara lain adanya pencemaran air dan tanah oleh logam berat seperti merkuri, arsen dan timbal, kerusakan ekosistem dan habitat alami, erosi tanah, dan longsor.
Demikian pula bahaya kesehatan yaitu adanya paparan logam yang menyebabkan penyakit kronis, kanker, penyakit pernapasan akibat debu dan polusi, serta gangguan reproduksi. Alhasil, lahan bekas tambang sangat tidak layak digunakan dan tidak bisa dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, tempat pariwisata, kolam ikan, dan sebagainya.
Tidak ingatkah kita akan berita banyaknya rakyat yang tenggelam di lubang bekas tambang? Begitu pun kerusakan lingkungan dan penggusuran pemukiman warga akibat pengelolaan tambang. JATAM mencatat terjadi 45 konflik tambang yang mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektar lahan rusak.
Menjamurnya lahan bekas tambang juga disebabkan pengelolaan SDAE yang eksploitatif dan cara pandang para pengusaha swasta/asing yang tentunya hanya berorientasi pada keuntungan semata, tanpa memedulikan dampak lingkungan. Sistem demokrasi kapitalisme sekuler yang pada salah satu pilarnya ada kebebasan kepemilikan, telah menjadi spirit bagi penguasa untuk menyerahkan SDAE ke swasta asing atau individu yang memiliki banyak modal.
Pengelolaan SDAE yang harusnya dikelola oleh negara dan dinikmati hasilnya oleh rakyat, justru hanya dinikmati oleh perusahaan swasta asing beserta keluarganya. Jika sudah begini, wajar kesenjangan antara orang miskin dan kaya makin mudah ditemui di negeri ini.
Para pemilik konsesi tambang tersebut tampak berupaya cuci tangan dengan memanfaatkan lahan bekas tambang seakan layak digunakan. Mereka seolah pahlawan yang ingin menyelamatkan lingkungan, tetapi sejatinya mereka sendirilah yang telah merusak lingkungan. Dengan serakah, mereka ugal-ugalan dalam mengelola tambang hingga hutan banyak dideforestasi, pemukiman warga mengalami bencana banjir, dan ruang hidup mereka terampas.
Begitu pun nasib pekerja lokal yang harus bersaing dengan banyaknya pekerja asing. Tak percaya? Nonton saja film-film dokumenter di channel YouTube Ekspedisi Indonesia Baru yang banyak memperlihatkan perusakan lingkungan dan perjuangan masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari pengelolaan tambang yang merusak.
Alhasil, rakyat tidak boleh merasa senang dengan adanya itikad baik mereka untuk memanfaatkan lahan bekas tambang. Rakyat harus marah karena tambang yang harusnya milik mereka, justru dicuri oleh oligarki. Sudahlah kekayaan alam diambil oleh mereka, rakyat juga yang diminta untuk mengelola bekas pekerjaan tambang mereka, bahkan harus mengeluarkan uang untuk mengelolanya. Adilkah hal tersebut?
Pengelolaan SDAE dengan Paradigma Islam
SDAE yang merupakan barang-barang tambang seperti emas, batu bara, nikel, minyak, gas dan sebagainya, dalam paradigma Islam, harus dikelola sepenuhnya oleh negara. Hasilnya diberikan kepada rakyat dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, serta fasilitas kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang disediakan secara murah, gratis, dan berkualitas. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, “Sesungguhnya umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dalam hadis tersebut, tambang disifati sebagai api yang umat Islam bersama-sama untuk memilikinya. Hadis ini tentu menjadi landasan bagi umat Islam untuk wajib ber-ittiba’ (mengikuti) Rasul dalam hal pengelolaan SDAE. Namun, jika paridgma pengelolaan SDAE justru mengikuti selain Rasul yaitu menggunakan paradigma kapitalisme, maka tunggulah akibat kerusakan dan kesengsaraan dari ketidaktaatan umat Islam kepada syariatnya.
Oleh karena itu, negara haram menyerahkan kepada individu atau segelintir orang dalam pengelolaan SDAE. Begitupun memanfaatkan lahan bekas tambang untuk dialihkan kepada perkebunan atau tempat wisata, sesungguhnya hal tersebut tidak menyelesaikan akar permasalahan, yang ada masyarakat tetap miskin dan hilangnya habitat makhluk hidup serta ketidakseimbangan keanekaragaman hayati.
Dengan demikian, negara tidak akan menjadikan lubang bekas tambang sebagai potensi ekonomi, karena besarnya keburukan yang ditimbulkan dan jauh dari kata layak untuk digunakan. Negara tentu tidak ragu mengeluarkan dana untuk menutup lubang bekas tambang, karena orientasi negara dalam sistem politik Islam adalah mengurusi dan melayani umat sebagaimana sabda Nabi saw., “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena itu, tidakkah umat Islam tersadar kewajiban mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan daulah Islam? Allah Taala berfirman, “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (TQS Al-A’raf ayat 3).
Wallahu’alam bishawab.[]