Catatan.co – Rumah Layak Huni, Kesenjangan Sosial yang Butuh Solusi. Indonesia kini berada dalam krisis multidimensi. Salah satu yang mencolok adalah motif ekonomi berupa kemiskinan, kesenjangan sosial, PHK, hingga krisis hunian layak. Potret buram ini bukan sekadar masalah kasuistis yang disebabkan oleh kesalahan individual semata, tetapi buah dari sistem tata kelola negara dan penerapan sistem kapitalis-sekuler dalam setiap sendi kebijakannya. Alhasil, kehidupan rakyat semakin sulit, sementara segelintir elite terus menumpuk kekayaan di atas penderitaan rakyat.
Berdasarkan data terbaru, sekitar 26,9 juta unit rumah di Indonesia masih tergolong tidak layak huni. Di satu sisi, gemerlap pembangunan gedung pencakar langit dan perumahan mewah terus menjamur di kawasan elite dan kota-kota besar. Fenomena ini menjadi cerminan ketimpangan sosial akibat sistem ekonomi yang lebih berpihak pada pemilik modal, ketimbang memenuhi kebutuhan pokok rakyat, tak terkecuali rumah layak huni.
Pemerintah telah melakukan regulasi, salah satunya dengan ketersediaan rumah layak huni. Pada tahun 2025, pemerintah Indonesia menargetkan percepatan program perbaikan dan pembangunan rumah layak huni hingga ke pelosok-pelosok. https://www.beritasatu.com/nasional/2884874/269-juta-rumah-di-indonesia-tidak-layak-huni
Namun, tampak apa yang diharapkan jauh dari kenyataan. Program perbaikan rumah tidak layak huni dan pembangunan rumah subsidi, pada kenyataannya berjalan lamban dan tidak sebanding dengan kebutuhan. Di sisi lain, pemerintah kerap memfasilitasi kepentingan korporasi properti, memberikan izin pembangunan apartemen dan perumahan mewah tanpa memperhatikan kebutuhan rakyat miskin. Belum lagi solusi tambal sulam kebijakan yang tidak tepat sasaran. Misalnya saja kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah, berdampak pada PHK massal, insentif honorer yang dicabut hingga sektor-sektor penting pendidikan dan kesehatan terdampak.
Kapitalisme Menyulitkan Dapat Rumah
Dalam sistem kapitalisme, tanah dan properti menjadi aset investasi yang diperebutkan demi keuntungan. Harga rumah dan tanah terus meroket menjadikan akses terhadap rumah layak huni semakin terbatas bagi masyarakat miskin dan kelas menengah ke bawah. Hal ini memperlebar kesenjangan sosial antara kelompok kaya yang dapat dengan mudah memiliki hunian mewah, dengan masyarakat miskin yang hanya mampu tinggal di rumah semipermanen di kawasan kumuh, bahkan di bantaran sungai atau kolong jembatan.
Karena itu, penerapan ekonomi kapitalis memang tidak dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan semua rakyat, melainkan kesejahteraan bagi para pemilik modal dan segelintir elite pemegang kekuasaan. Sistem ini hidup dari ketimpangan, karena keuntungan hanya bisa diperoleh dengan menekan biaya produksi, menggusur ruang-ruang rakyat, dan memperjualbelikan hak hidup manusia. Selama kebutuhan dasar seperti rumah masih diperlakukan sebagai komoditas, mustahil kapitalisme bisa mewujudkan rumah layak huni bagi seluruh rakyat.
Butuh Alternatif Sistem
Sudah saatnya kita mempertanyakan secara serius model pembangunan yang sepenuhnya diserahkan pada logika pasar. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai fasilitator bisnis, tetapi sebagai pelindung hak dasar rakyat. Akses terhadap rumah layak huni harus dijamin sebagai hak dasar, bukan peluang investasi. Jika tidak, ketimpangan akan terus melebar, dan kapitalisme akan terus menjadi mesin pengisap rakyat.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang rumah sebagai kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara bagi rakyatnya. Dalam sistem pemerintahan Khilafah Islamiah, negara bertanggung jawab langsung terhadap kesejahteraan rakyat, termasuk pemenuhan hunian.
Beberapa mekanisme sistem Islam:
1. Harta milik umum tidak boleh dikuasai individu untuk komersialisasi. Akan tetapi diwakilkan kepada negara mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara langsung ataupun tidak langsung.
2. Negara menyediakan baitulmal sebagai kas umum untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, yang bersumber dari zakat, kharaj, fai, ganimah dan jizyah. Sehingga pendapatan negara sangat melimpah.
3. Negara menjamin pendistribusian kepemilikan tanah secara adil dan melarang monopoli tanah. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi). Sehingga tanah yang tidak dimanfaatkan dalam waktu 3 tahun akan ditarik oleh negara dan diberikan kepada orang lain yang membutuhkan dan mampu mengelolanya, bukan dikuasai segelintir elite.
Pemimpin negara (khalifah) memiliki kewajiban syar’i menuntaskan persoalan ini secara cepat dan menyeluruh. Sejarah membuktikan, di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kemiskinan berhasil diberantas hingga sulit menemukan rakyat yang bersedia menerima zakat karena kebutuhan dasarnya, termasuk tempat tinggal telah terpenuhi.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa Islam memiliki sistem hidup yang lengkap dan solutif, termasuk dalam hal pemenuhan rumah layak huni. Membangun kesadaran politik umat untuk kembali menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam institusi Khilafah adalah jalan satu-satunya untuk memastikan setiap rakyat, tanpa kecuali, dapat hidup sejahtera dengan hunian yang layak.
Wallahu’alam. []
Penulis. Ernadaa R (Aktivis Muslimah)