Pemblokiran Rekening Dormant Bentuk Kesewenangan Pelanggaran Hak

Pemblokiran Rekening Dormant Bentuk Kesewenangan Pelanggaran Hak

Catatan.co – Pemblokiran Rekening Dormant Bentuk Kesewenangan Pelanggaran Hak. Belakangan ini kebijakan pemblokiran rekening dormant (rekening tidak aktif) oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai pro dan kontra. Beberapa pihak mempertanyakan dasar hukumnya. Sebab, PPATK sejatinya bukan lembaga eksekutor, melainkan hanya menganalisis dan melaporkan transaksi mencurigakan. Bila langsung melakukan pemblokiran tanpa proses hukum yang jelas, hal ini bisa melanggar hak kepemilikan dan privasi warga.

Sebagaimana dilaporkan Republika dalam artikelnya “Landasan Hukum Pemblokiran Rekening Dipertanyakan, PPATK Terlalu Jauh Masuk Ranah Pribadi”, para ahli hukum mengkritik kewenangan PPATK yang dianggap telah melampaui batas. PPATK bukan lembaga penegak hukum, tetapi lembaga analisis. Jika kini memiliki kuasa untuk membekukan rekening warga hanya karena “tidak aktif”, ini bukan pencegahan, tetapi bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Namun di sisi lain, ada pula yang melihat sisi positifnya. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua DPR, langkah ini dinilai bisa mencegah rekening nasabah disalahgunakan oleh pelaku kejahatan, seperti penipuan atau pencucian uang. Apalagi di era digital saat ini, banyak kasus di mana rekening tidak aktif tiba-tiba digunakan dalam kejahatan siber. (httapis://ekonomi.republika.co.id/berita/t0aka1502/dasco-ungkap-ada-dampak-positif-pemblokiran-rekening-oleh-ppatk-untung-buat-nasabah )

Benarkah langkah PPATK telah mengikis kepercayaan publik terhadap sistem keuangan, sebab kebijakan ini dikhawatirkan berubah menjadi alat kesewenang-wenangan negara atas hak individu?

Paradigma Kapitalisme

Sistem kapitalisme yang lahir dari asas sekularisme—pemisahan agama dari kehidupan—menempatkan harta sebagai komoditas yang dapat dikelola demi kepentingan elite. Negara dalam sistem ini hanya berfungsi sebagai alat regulasi dan pengamanan bagi kepentingan pemilik modal, bukan penjaga keadilan sosial. Maka tak heran, aturan yang seharusnya melindungi rakyat justru dijadikan instrumen untuk memata-matai, memblokir, hingga menyita aset tanpa proses yang adil.

Lebih dari itu, kapitalisme sekuler juga tidak mengenal keharaman dalam merampas kepemilikan pribadi, selama dianggap menguntungkan atau memperkuat kontrol negara. Pemblokiran rekening tanpa bukti yang sah hanyalah satu dari sekian bentuk pelanggaran terhadap hak kepemilikan. Rakyat tak ubahnya sapi perah yang terus dicari celahnya, entah melalui pajak berlapis, pemotongan saldo sepihak, hingga pengawasan ketat atas transaksi pribadi.

Yang luput dari perhatian publik adalah bagaimana kebijakan pemblokiran rekening dormant ini merupakan indikasi makin meluasnya kontrol negara terhadap aset warga. Ini bukan hanya soal rekening tidak aktif. Ini adalah langkah awal menuju normalisasi pembatasan akses individu terhadap harta pribadi dengan justifikasi “keamanan” dan “pencegahan kejahatan”.

Baca Juga: Tanah Terlantar Diambil Negara, 

Yang lebih berbahaya, publik diajak menerima logika negara: “Kalau tidak ada niat jahat, kenapa takut diblokir?” Ini logika terbalik. Negara seharusnya yang dibatasi kekuasaannya, bukan rakyat yang terus dicurigai. Inilah wajah baru otoritarianisme digital, di mana harta, data, dan akses keuangan rakyat berada dalam genggaman negara.

Jika kebijakan ini dibiarkan, maka negara tidak lagi menjadi pelindung rakyat, tetapi berubah menjadi pemangsa. Atas nama stabilitas dan keamanan, satu per satu hak individu dapat digerus. Inilah wajah nyata dari negara dalam sistem kapitalisme sekuler. Kekuasaan digunakan bukan untuk menyejahterakan, melainkan mengontrol, menekan, bahkan merampas hak dan harta rakyatnya.

Paradigma Islam

Islam menolak semua bentuk dominasi kekuasaan atas hak individu. Negara Islam bukan negara pengontrol, tetapi pelayan dan pelindung hak rakyat. Inilah arah sistem yang harus diperjuangkan.

Padahal dalam Islam, kepemilikan pribadi adalah hak yang dijamin syariat. Islam melarang keras perampasan harta tanpa hak yang jelas. Seorang Muslim tak bisa diblokir atau disita hartanya hanya karena dugaan atau kecurigaan semata. Rasulullah saw. bersabda,

Harta seorang Muslim haram (disentuh orang lain) kecuali dengan hak yang jelas.” (HR. Bukhari-Muslim)

Negara dalam sistem Islam justru menjadi penjaga kehormatan, darah, dan harta rakyatnya. Tidak ada blokir tanpa proses hukum syar’i. Tidak ada pencabutan hak tanpa pembuktian di pengadilan. Penguasa dalam Islam diikat oleh syariat, bukan oleh kepentingan politik, kekuasaan, atau tekanan lembaga internasional.

Karenanya, solusi dari berbagai penyimpangan kebijakan ini bukan sekadar menuntut transparansi prosedural atau revisi undang-undang teknis. Akar masalahnya ada pada sistem itu sendiri. Selama sistem kapitalisme sekuler tetap digunakan, maka akan selalu ada ruang bagi negara untuk menyalahgunakan kekuasaan atas nama keamanan dan pengawasan. Maka, umat Islam harus mulai memandang masalah ini dengan jernih dan mendalam. Bukan hanya sebagai kebijakan keliru, tetapi sebagai bagian dari pola besar negara kapitalistik yang melampaui batas merenggut hak rakyat.

Pemblokiran rekening tanpa proses hukum yang sah bukanlah sekadar kebijakan bermasalah, tetapi cerminan nyata dari watak represif negara dalam sistem kapitalisme sekuler. Ketika negara bisa memasuki ranah privasi warga dan merampas hak milik atas dasar kecurigaan, maka jelas hak-hak individu berada dalam ancaman. Islam menawarkan paradigma yang sangat berbeda yang menjamin kepemilikan pribadi, menegakkan prinsip keadilan, dan membatasi kekuasaan negara agar tidak zalim terhadap rakyatnya.

Maka solusi sejati tidak cukup hanya dengan revisi undang-undang atau kritik prosedural. Dibutuhkan perubahan sistemik: keluar dari jerat kapitalisme dan kembali kepada Islam kaffah yang menjadikan syariat sebagai sumber hukum. Hanya dengan itulah keadilan dan perlindungan hak rakyat benar-benar dapat ditegakkan.

Wallahu a’lam bishawab. []

Penulis: Miladiah al-Qibthiyah

(Aktivis muslimah DIY)